White Lies Alias Berbohong untuk Menyenangkan Orang Lain, Bolehkah?

Muharini Aulia - Psikologi Remaja 27/02/2020
Photo by Gerry from Oase.id
Photo by Gerry from Oase.id

Oase.id- “Aku gemukan ya?” Kalimat populer ini bukanlah pertanyaan retoris, akan tetapi di dalamnya menyimpan ekspektasi jawaban dari si penanya.

Bagi yang harus menjawab, pertanyaan ini tampak seperti “Bab Pendahuluan” sebelum masuk ke “Rumusan masalah”. Demi kebaikan bersama, kebanyakan orang akhirnya menjawab “Enggak kok,”  dan Voila! The end of conversation! Case closed! Penanya senang, kita pun tenang. 

Selamat! Kita baru saja menyelamatkan perasaan orang lain dan diri kita sendiri dengan cara berbohong. Perilaku ini biasa dikenal dengan istilah white lies

White lies merupakan salah satu bentuk dari perilaku berbohong yang orientasinya adalah untuk kebaikan orang lain. Dengan kata lain, kita berbohong untuk menjaga perasaan orang lain, memproteksi diri mereka dari probabilitas tersakiti karena jawaban kita, dan juga untuk menyenangkan orang lain.

 

Menyelamatkan hubungan

Semua orang hampir bisa dipastikan pernah menggunakan white lies saat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Contoh kecilnya, ketika kita berhadapan dengan teman yang sedang bersedih bertanya tentang penampilannya hari ini.

Dalam memilih jawaban, kita cenderung memprioritaskan cara untuk menjaga perasaannya dari pada mempertimbangkan preferensi gaya berpakaian kita yang mungkin berbeda darinya. 

Alih-alih berkata jujur dan apa adanya, kita memutuskan untuk memberikan jawaban singkat “Wonderful!” Diiringi dengan senyum yang tulus. Lagi-lagi white lies menjadi penyelamat hubungan kita dengan orang lain. 

Secara teori, white lies memang dianggap mampu membantu terjaganya stabilitas hubungan sosial kita. White lies juga dapat digunakan untuk menjaga sopan santun saat berinteraksi dengan orang lain. Tapi bagaimanapun juga white lies adalah berbohong, yang merupakan salah satu bentuk aversive interpersonal behavior alias perilaku interpersonal yang tidak menyenangkan.

 

Bagaimana mungkin itu tidak berdampak buruk bagi orang yang dibohongi? Paradoks ini tentunya dapat ditelusuri dengan menyorot dinamika psikologis yang terjadi pada pelaku dan penerimanya.

 

Untung-rugi

Untuk menyempurnakan pemahaman mengenai hal ini, ada baiknya kita memahami perbedaan antara white lies dengan kebohongan lainnya atau real lies. 

Sebuah penelitian yang dilakukan Erin Bryant berhasil merumuskan kriteria yang dapat digunakan untuk membedakan antara keduanya, yaitu intensi, konsekuensi, benefit, kejujuran dan penerimaan. 

Singkatnya, coba tanyakan pada diri kita sendiri beberapa pertanyaan ini;


•    Apa tujuan saya berbohong? (intensi) 


•    Apa akibat dari kebohongan saya? (konsekuensi)

 
•    Apa manfaat yang bisa diperoleh dari kebohongan ini? (benefit) 


•    Seberapa jauh kebohongan ini dari kenyataannya? (kejujuran) 


•    Seberapa besar kemungkinan orang akan memaklumi dan menerima kebohongan ini? (penerimaan) 

 

Baca: Ditanya Tentang Masa Depan? Begini Cara Menjawabnya


Pada white lies, intensi dari kebohongan yang dilakukan adalah untuk kebaikan orang lain. Konsekuensi yang muncul juga harus tidak merugikan orang lain, sebaliknya memberikan manfaat (seperti menenangkan, menyenangkan) bagi orang lain. 

Seringkali, fakta yang disembunyikan hanyalah perihal trivial sehingga akan lebih mudah dimaklumi bila orang lain menyadari kebohongan kita. Dengan demikian, apabila kebohongan yang dilakukan malah terfokus pada kebutuhan diri sendiri dan membawa dampak buruk bagi orang lain, maka itu bukan salah satu bentuk dari white lies.

Nah, yang perlu di-highlight saat ini adalah tidak mudahnya bagi kita menyadari intensi kita berbohong dan konsekuensinya bagi orang lain. Misalnya pada contoh pertama di atas. Apakah intensi kita sepenuhnya untuk menjaga perasaan teman yang bertanya tentang bentuk tubuhnya? Atau sebenarnya niat utama kita adalah untuk menyelamatkan diri kita sendiri dari konflik yang mungkin terjadi bila kita berkata jujur?

Bagaimana bila ternyata teman kita membutuhkan jawaban yang sejujurnya sebagai acuan untuk evaluasi diri? Selain itu, saat kita berbohong tentang bentuk tubuh seseorang, secara tidak langsung kita masih menggunakan pola pikir bahwa seseorang harus memiliki bentuk tubuh ideal untuk menjadi bahagia. 

Meskipun konsekuensinya tidak menyakitkan atau merugikan orang lain, jenis kebohongan yang juga bertujuan untuk melindungi diri kita sendiri ini tidak sepenuhnya pro-sosial. Kebohongan ini lebih dikenal sebagai pareto white lies.

 

Saat yang tepat

Mari beranjak ke contoh kedua. Bila kita sepenuhnya sadar bahwa kebohongan yang kita lakukan adalah untuk menghibur teman kita yang sedang bersedih, dan kita meyakini tidak ada niat untuk keuntungan diri sendiri saat melakukannya, maka white lies yang kita ungkapan sepenuhnya berdasar pada perhatian pada kondisi orang lain (altruisme). 

Banyaknya gradasi kebohongan pada individu, sulitnya bagi kita memahami intensi diri, serta tidak mudahnya memprediksi konsekuensi dari sebuah kebohongan, membuat kita perlu lebih berhati-hati dalam menggunakan white lies. Meskipun dalam beberapa situasi white lies memang tidak terelakan, bila masih bisa diupayakan, akan lebih baik bila kita merespons suatu hal secara asertif.

Komunikasi asertif merupakan penyampaian maksud yang apa adanya dengan bahasa yang tepat dan baik tanpa menyakiti pihak yang menerimanya. Untuk menjaga hubungan yang sehat kita juga perlu membiasakan pola komunikasi dua arah yang terbuka. 

Kita semua memiliki tiket untuk menggunakan white lies dalam kondisi tertentu. Gunakan pada porsi yang tepat dan pastikan kita sempat melalui proses refleksi mengenai intensi dan konsekuensinya. Jangan sampai kita menjadikan white lies hanya sebagai pembenaran untuk mengambil jalan pintas guna menghindari setiap potensi konflik yang terkadang justru perlu dihadapi.[]

 

Rubrik ini diampu Psikolog Remaja Muharini Aulia (@auliyarini). Pertanyaan lebih lanjut bisa dilakukan dengan mengubungi redaksi Oase.id 


(SBH)
Posted by Sobih AW Adnan