Manfaat Puasa untuk Kesehatan Mental

Muharini Aulia - Psikologi Remaja 26/04/2020
Photo by Aliko Sunawang on Unsplash
Photo by Aliko Sunawang on Unsplash

Oase.id- Umat Muslim dunia bergembira, Ramadan tiba. Meski tengah berada dalam ancaman pandemi korona (Covid-19), rasa syukur harus tetap dipanjatkan karena mendapat kesempatan untuk kembali bercengkerama dengan bulan suci. 

Kita tidak bisa menafikan, bahwa kali ini, Ramadan harus dinikmati dengan cara yang berbeda.

Lantaran puasa tahun ini dianjurkan dijalani di rumah saja. Kita, barangkali, harus rela kehilangan banyak “ritual asik dan seru”, seperti ngabuburit, bukber, sahur on the road dan aktivitas luar rumah lainnya. Akan tetapi, yang patut diingat adalah, semua itu hanya pelengkap dari agenda utama kita, yakni berpuasa.

Jika mau disadari bersama, pembatasan ini secara tidak langsung justru mengajak kita untuk menikmati esensi puasa secara lebih mendalam, tanpa terbuai oleh atribut “hore” yang -harus kita akui- terkadang dijalani dengan lebih serius ketimbang ibadah puasanya itu sendiri. 

Nah, ketika sekarang punya ruang lebih luas di kepala untuk memaknai esensi puasa, maka, waktunya kita menyadari juga bahwa dengan berpuasa seseorang bisa mencapai apa yang disebut dengan mindfulness.

 

Apa itu mindfulness?

Mindfulness dapat dideskripsikan sebagai keadaan mental penuh kesadaran dan penuh perhatian pada kondisi fisik dan lingkungan sekitar kita tanpa disertai penilaian, apalagi prasangka. 

Ketika berada dalam keadaan mindfulness, kita bisa membebaskan diri dari “PR masa lalu” yang masih belum mampu diselesaikan, atau pun harapan masa depan yang masih bertahan di fase perencanaan. 

Ketika memasuki tahap mindfulness, seseorang bisa mengalokasikan perhatian sepenuhnya untuk “saat ini”. Ya, segala sesuatu (sensasi di dalam tubuh dan apa yang diterima oleh indera) yang terjadi detik ini. Bukan yang silam, atau yang akan datang. 

Baca: Yuk! Patuhi Imbauan Social Distancing, Ini Manfaatnya Secara Psikologis

 

Psikolog dan ahli saraf kognitif spesialis kajian ilmiah meditasi Peter Malinowski, dalam salat satu artikelnya menjelaskan 5 faktor yang mampu mengkonstruksi mindfulness, yaitu acting with awareness, non judging, observing, describing dan non-reactivity

Keadaan memasrahkan perhatian untuk dipusatkan pada situasi saat ini dapat membantu seseorang untuk mereduksi stres, dan mengantarkannya pada kondisi mental yang baik.

 

Saat berpuasa, kita membawa niat di sepanjang hari selama waktu yang telah ditetapkan. Niat tersebut dimunculkan dalam kesadaran dan mengaktivasi fungsi kontrol yang melaluinya. Pengkondisian ini membuat kita mampu untuk tidak melakukan sesuatu, meskipun kita sangat ingin mengekskusinya. 

Ketika tidak berpuasa, secara refleks kita mencari air dan meneguknya saat kita berada dalam keadaan haus. Namun saat berpuasa, kita menggunakan kesadaran sepenuhnya untuk mengendalikan diri dan menerima rasa hausnya. 

Kita mengambil alih kendali diri  dari komando refleks yang biasanya menyelesaikan banyak persoalan dalam tubuh. Perpindahan kendali ini, tentunya merupakan hasil dari kolaborasi antara kesadaran dan perhatian dengan sebuah tujuan. Ini adalah aksi, bukan reaksi. 

 

Mindfulness berpuasa

Aktivitas berbuka puasa juga membawa kita pada level yang lebih tinggi dalam menikmati masa kini (present moment) secara penuh. Sejenak, kita bisa melepaskan diri dari pekerjaan yang belum diselesaikan atau pun permasalahan yang belum dipecahkan. 

Kita mencurahkan perhatian pada setiap teguk air yang melewati tenggorokan. Seseorang bisa merasakan seutuhnya sensasi tubuh dan perubahan di dalamnya yang menyertai aktivitas. 

Pada momen ini, tidak ada masa lalu atau masa nanti. Yang ada, hanya saat ini yang memenuhi perhatian dan kesadaran. 

Sepenggal keadaan mindfulness ini membawa kita pada kondisi mental yang dipenuhi ketenangan, kenyamanan, dan kecukupan. Hal ini, sesuai dengan fungsi mindfulness yang bila dipraktikan secara rutin, akan dapat mengurangi kecemasan, depresi, serta meningkatkan aktivitas bagian otak yang bertanggungjawab terhadap perasaan positif manusia. 

Saat berbicara mengenai keutamaan lain dalam praktik puasa, kita akan sampai pada pembahasan mengenai kapasitas diri untuk mengelola emosi. Kata kerja “mengelola” menunjukkan bahwa kita adalah subjek yang akan melakukan sesuatu, dan emosi adalah objek yang akan menerima perlakukan dari diri kita. 

Penegasan ini bermakna tidak adanya pergantian peran dalam prosesnya. Puasa, mengkondisikan kita untuk mengelola emosi agar tidak berlaku sebaliknya, alias emosi yang justru mengatur kita. 

Baca: 7 Langkah Menjaga Kesehatan Jiwa di Tengah Cobaan Wabah Korona

 

Untuk sampai pada kemampuan mengelola emosi, terlebih dulu kita perlu menyadari dan menerima keberadaannya. Pengkondisian ini, sejalan pula dengan mindfulness program, yakni, sebagai individu kita diminta untuk menyaksikan serta menyadari pikiran dan emosi yang muncul, tanpa terpengaruh olehnya. 

Tidak diragukan lagi bahwa puasa membawa banyak manfaat dalam hidup, baik yang disampaikan melalui ajaran agama, maupun hasil riset yang dilengkapi dengan berbagai data.

Untuk optimalisasi manfaatnya, pertama-tama, kita perlu menyadari esensinya alih-alih menjalankannya sebagai ritual semata. 

Definisi puasa lebih dari sekadar larangan dan batasan. Ada proses penuh kesadaran, penerimaan, dan kendali diri di dalamnya. 

Ketika dilaksanakan dengan benar, maka puasa tak lain merupakan bagian dari proses seseorang dalam melatih diri untuk menjalani hidup dengan mindfulness mode. Dan tentu, ini sangat bermanfaat bagi kesehatan mental manusia. 

 

Rubrik ini diampu Psikolog Remaja Muharini Aulia (@auliyarini). Pertanyaan lebih lanjut bisa dilakukan dengan mengubungi redaksi Oase.id 


(SBH)
Posted by Sobih AW Adnan