Kisah Mualaf Samanta Elsener, Adik Darius Sinathrya

N Zaid - Mualaf 14/09/2025
Samanta Elsener mualaf. Foto: IG @samanta.elsener
Samanta Elsener mualaf. Foto: IG @samanta.elsener

Oase.id - Perjalanan spiritual Samanta Elsener, adik aktor Darius Sinathrya, menjadi sorotan publik setelah kisah mualafnya viral di media sosial. Mantan putri altar yang sejak kecil aktif dalam kegiatan gereja ini mengungkapkan bahwa keputusan memeluk Islam lahir dari proses pencarian panjang, penuh pertanyaan dan perenungan mendalam.

Sejak remaja, Samanta dikenal tekun dalam ibadah dan rajin membaca Alkitab. Namun, berbagai pertanyaan mendasar tentang keyakinannya membuatnya terus mencari jawaban. Ketertarikan pada Islam bermula ketika ia kerap menemani teman-temannya yang Muslim salat di masjid. “Saat berada di masjid, hati saya selalu terasa adem,” kenangnya.

Rasa ingin tahu itu semakin menguat saat ia menempuh pendidikan tinggi dan berkesempatan melakukan perjalanan ke Swiss. Sepulang dari perjalanan tersebut, Samanta mempelajari berbagai agama—dari Buddha, Hindu, Protestan, hingga akhirnya Islam. Ketenangan yang ia rasakan saat mempelajari dan menunaikan ibadah Islam membuat hatinya mantap mengucapkan dua kalimat syahadat.

Samanta juga mengisahkan pengalaman nazarnya yang dua kali terkabul, yang semakin menguatkan keyakinannya akan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Saya menemukan jawaban dan kedamaian sejati dalam Islam, bukan karena pengaruh siapa pun, melainkan karena hidayah dari Allah,” ujarnya penuh syukur.

Di channel YouTube Bintang Mualaf, Samanta bercerita tentang perjalanan spiritualnya itu hingga ia memeluk Islam. Beginilah kisah lengkapnya:

Saat kecil, aku aktif di gereja sebagai putra-putri altar. Setiap Sabtu atau Minggu pasti ikut misa dan berbagai kegiatan gereja. Bahkan setiap pagi sebelum sekolah, aku ke gereja karena lokasinya tepat di depan sekolah. Jadi wajar kalau banyak orang kaget ketika aku pindah agama. 

Keputusan menjadi mualaf bukan karena pengaruh orang dekat atau mantan suami. Bahkan mantan suamiku—yang saat itu masih pacar—sering bilang, “Sem, jangan pindah agama karena aku. Kalau kita tidak bersama, kamu akan kecewa.”

Lingkungan keluargaku sejak kecil beragam. Saat Lebaran kami merayakannya, begitu juga Natal. Aku suka bermain pura-pura memakai mukena milik asisten rumah tangga dan ikut salat. Sementara, setiap malam keluarga kami punya ritual doa di sebuah mini chapel di rumah, biasanya aku dipeluk Papa atau bersandar padanya.

Saat SMA, aku tidak lagi bersekolah di sekolah Katolik, melainkan sekolah negeri. Kata Papa, supaya aku belajar tentang kehidupan, tidak hanya berada di lingkungan yang ambisius dan homogen. Di sekolah ada masjid yang kemudian direnovasi menjadi lebih bagus. Aku sering menemani teman-temanku yang Muslim salat, kadang duduk atau tiduran di dalam masjid. Masjid terasa begitu sejuk dan tenang. Teman-teman juga sering menjelaskan tentang salat dan ajaran Islam. Aku jadi makin penasaran.

Ketika kuliah dan tinggal di kos, setiap pulang-pergi ke kampus aku melewati masjid kecil. Rasanya seperti masjid itu “memanggil”. Mungkin karena aku kangen suasana SMA saat menemani teman-teman salat.

Suatu ketika aku pergi ke Swiss dan bertemu teman Mama yang seorang psikolog. Kami mengobrol panjang di atas perahu yang mengelilingi danau. Di sana tiba-tiba aku tergerak untuk mempelajari semua agama. Sejak SMP aku memang punya banyak pertanyaan, seperti tadi soal Yesus sebagai nabi dan Tuhan. Dua pertanyaan itu selalu bergelayut hingga remaja dan dewasa.

Sepulang dari Swiss, aku mulai belajar agama-agama lain: Buddha, Hindu, Protestan, dan terakhir Islam. Aku mencari tahu tata cara ibadah masing-masing dan mencoba praktiknya. Aku merasa paling nyaman saat mengikuti cara ibadah Islam. Seorang teman juga pernah bilang, “Kalau kamu sendirian, di mana kamu paling merasa nyaman?” Dan jawabanku adalah: Islam.

Aku bahkan membeli buku panduan salat anak-anak, belajar gerakan salat dengan bacaan bahasa Indonesia karena belum bisa membaca Arab. Setiap selesai salat, hati terasa tenang. Aku juga belajar salat tahajud dan mulai bernazar, bukan untuk diriku sendiri, tetapi untuk orang lain.

Contohnya, aku bernazar agar seorang teman bisa mendapat pekerjaan di Uni Emirat Arab. Aku berdoa, dan dalam 1–2 minggu dia benar-benar dipanggil untuk seleksi. Nazar kedua juga dikabulkan, meski detailnya tidak kuceritakan. Setelah dua nazar itu terkabul, aku yakin untuk memeluk Islam. Aku percaya Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Tuhan satu-satunya, dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Rasul-Nya.

Ada juga tanteku yang sempat berkata aku akan masuk neraka karena tidak percaya Tuhan Yesus. Tapi aku merasa ini perjalanan hidupku sendiri.

Mantan suamiku pernah memberiku buku berjudul Muhammad karya Martin Lings yang mengisahkan sejarah Nabi Muhammad. Saat membaca, aku sering menangis karena merasa sangat terhubung dengan perjuangan beliau, termasuk saat hijrah dari Makkah ke Madinah. Aku pun berpikir, kalau hijrah adalah sesuatu yang baik, kenapa tidak?

Aku memutuskan dengan teguh agar pilihan ini bukan sekadar fase remaja. Setelah melihat nazar-nazarku terkabul dan mengalami sendiri ketenangan itu, aku mantap menjadi mualaf.

Akhirnya aku mengucap syahadat. Semoga Allah selalu menjaga keimananku dan memberiku kekuatan untuk terus belajar dan menjalankan ajaran Islam.


(ACF)
TAGs:
Posted by Achmad Firdaus