Perdebatan Pemakaman Muslim di Jepang: Tradisi, Identitas, dan Kenyataan Baru

N Zaid - Diskriminasi Islam 07/12/2025
Pemakaman Muslim di Jepang. Foto: Nikkei
Pemakaman Muslim di Jepang. Foto: Nikkei

Oase.id - Sebuah video yang menunjukkan anggota parlemen Jepang dari partai populis Sanseito, Mizuho Umemura, menolak praktik pemakaman bagi Muslim mendadak menjadi viral dan memicu perdebatan luas. Dalam video tersebut, Umemura mempertanyakan perlunya area pemakaman baru bagi komunitas Muslim di Jepang, terutama karena mayoritas warga Jepang—lebih dari 99%—memilih kremasi sebagai tradisi akhir hayat.

Menurut Umemura, dengan keterbatasan lahan serta kekhawatiran soal potensi pencemaran tanah, praktik pemakaman tanah bagi Muslim “tidak tepat” diberlakukan secara luas. Ia bahkan menyatakan bahwa warga asing yang tinggal di Jepang seharusnya diberi dua pilihan: dikremasi, atau jenazah dipulangkan ke negara asal dengan biaya sendiri.

Pernyataan itu langsung memicu reaksi—dari dukungan hingga kecaman. Ada yang menilai bahwa pendatang wajib mengikuti tradisi lokal. Namun tak sedikit yang membalas dengan pertanyaan balik: “Bagaimana dengan warga Muslim yang lahir di Jepang? Mereka bukan pendatang. Mereka adalah bagian dari negara ini.”

Populasi Muslim di Jepang memang meningkat pesat. Jika pada 1990 hanya sekitar 30.000 orang, kini angkanya diperkirakan mencapai 350.000. Pertumbuhan ini membawa perubahan baru dalam ruang sosial dan budaya, termasuk urusan pemakaman. Banyak Muslim yang tinggal jangka panjang atau berencana menetap merasa cemas karena lahan pemakaman yang sangat terbatas.

Isu ini sebenarnya bukan baru. Sepanjang tahun lalu, beberapa daerah konservatif—termasuk Prefektur Oita di Pulau Kyushu—menghentikan atau menolak pembangunan makam Muslim, termasuk rencana pembangunan kuburan yang akhirnya dibatalkan oleh wali kota setempat.

Meski dibungkus alasan kesehatan publik dan tata ruang, para pengamat menilai inti persoalan justru ada di ranah identitas: apakah Jepang siap menerima fakta bahwa masyarakatnya semakin beragam?

Mark Cogan, akademisi dari Kansai Gaidai University, melihat fenomena ini bukan sekadar soal pemakaman, tetapi gambaran lebih besar tentang bagaimana sebagian politisi memanfaatkan sentimen nasionalisme untuk menggaet suara.

“Secara nyata, masyarakat Jepang jauh lebih inklusif dibanding gambaran di media,” kata Cogan. “Untuk politisi konservatif, isu seperti ini mungkin terlihat seperti kemenangan, tapi sebenarnya justru melukai citra Jepang.”

Ia menyebut debat pemakaman Muslim sebagai contoh bagaimana retorika politik dapat menutupi pengalaman positif yang selama ini berjalan baik. Beberapa sekolah, universitas, dan fasilitas publik sudah menyediakan ruang salat dan layanan ramah Muslim—tanda bahwa Jepang juga sedang belajar menyesuaikan diri.

Profesor Stephen Nagy dari International Christian University menambahkan bahwa komentar Umemura kemungkinan hanya mewakili kelompok kecil yang vokal. Menurutnya, realitas lapangan jauh lebih harmonis.

Ia menunjuk contoh di Oita, di mana banyak lulusan internasional memilih tinggal, bekerja, menikah, dan membangun komunitas. “Mereka berbaur, mengikuti etika sosial Jepang, dan membantu perekonomian lokal. Tidak ada masalah,” ujarnya.

Di sisi lain, langkah-langkah positif tetap bermunculan. Baru-baru ini, Prefektur Saitama menunjuk influencer Muslim asal Indonesia, Nazaya Zulaikha, sebagai duta hubungan masyarakat—a langkah simbolis yang menunjukkan semakin terbukanya ruang bagi keberagaman.

Namun untuk masyarakat Muslim Jepang, pertanyaan utamanya tetap sederhana: ketika seseorang meninggal, apakah ia dapat dimakamkan sesuai keyakinannya?

Di negeri yang bangga dengan harmoni sosial, jawaban atas pertanyaan itu kini menjadi percakapan nasional—antara tradisi, identitas, dan sebuah Jepang yang sedang berubah.(SCMP)


(ACF)
Posted by Achmad Firdaus