Kisah Diperintahkannya Puasa 30 Hari
Oase.id - Makna puasa bagi orang istimewa adalah puasa hati dari pikiran-pikiran duniawi dan mencegah apa yang dilarang Allah Swt. Apabila memikirkan perkara dunia, sama artinya tidak berpuasa. Puasa seperti ini berlaku untuk tingkatan para Nabi dan Shiddiqin.
Puasa adalah ibadah yang hanya bisa diteliti oleh indra hamba Allah. Tidak diketahui oleh orang lain, hanya Allah semata dan orang yang sedang berpuasa.
Artinya, bahwa puasa adalah ibadah antara Tuhan dengan hamba-Nya. Oleh karena itu, puasa merupakan ibadah yang ketaatannya hanya diketahui Allah.
Sebagaimana dalam firman-Nya: Ash-shoumu lii wa anaa ajzii bihi.
Artinya: “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang memberi balasan atasnya.”
Kata “Wa anaa ajzii bihi” atau dan "aku yang memberi balasan atasnya". Dalam syarh kitab Durratun Nashihin dimaknai sebagai “Atas puasanya, Aku perlakukan orang itu dengan kedermawanan ketuhanan-Ku, bukan dengan kepatutan-Ku untuk disembah.”
Sementara, Abul Hasan dalam Mukhtasar ar-Raudhah memaparkan arti kata “Wa anaa ajzii hihi” adalah tiap-tiap ketaatan, pahalanya surga. Kemudian, puasa adalah pertemuan dengan-Ku. Aku memandang kepada orang itu, sedang ia memandang kepada-Ku, sedang aku berbicara kepadanya, tanpa juru bahasa.
Sa’id bin al-Musayyab menambahkan, orang yang berpuasa tidak boleh mencium dan menyentuh istrinya, baik ia merasa khawatir atau tidak. Karena, menurut riwayat Ibnu Abbas, suatu ketika diceritakan, ada seorang pemuda menemui Ibnu Abbas, lalu bertanya, “Bolehkah saya mencium selagi berpuasa?”
Jawab Ibnu Abbas, “Tidak”.
Lalu, datang pula seorang kakek tua kepada Ibnu Abbas seraya berkata, “Bolehkah saya mencium selagi berpuasa?”
Jawab Ibnu Abbas, “Ya.”
Pemuda tadi kembali lagi kepada Ibnu Abbas dan memprotes jawaban yang diberikan kepadanya, “Kenapa tuan halalkan untuknya apa yang tuan haramkan atas diriku, padahal kita satu agama?”
Ibnu Abbas menjawab, “Karena dia sudah tua, dia bisa menguasai hajatnya, sedang kamu masih muda, kamu tidak mampu menguasai hajatmu, yakni anggota tubuhmu dan auratmu.”
Maksud dari puasa di atas ialah untuk menahan syahwat yang datangnya dari setan. Syahwat itu menjadi kuat karena tidak makan dan minum. Oleh sebab itu ada riwayat yang mensyariatkan puasa, bahwa Allah menciptakan akal.
Lalu berkata, “Menghadaplah kamu!” maka akal pun menghadap.
Kemudian Allah berfirman, “Membelakanglah kamu!” maka akal itu pun membelakang. Selanjutnya, Allah bertanya, “Siapakah kamu, dan siapa aku?”
Akal menjawab, “Engkau Tuhanku, dan aku hamba-Mu yang lemah.”
Maka Allah berfirman, “Hai akal, aku tidak menciptakan satu makhluk pun yang lebih mulia dari kamu.”
Selanjutnya, Allah menciptakan nafsu.
Lalu berfirman kepadanya, “Menghadaplah kamu!”. Namun, nafsu itu tidak mematuhi.
Kemudian Allah bertanya kepadanya, “Siapakah kamu, dan siapa Aku?”
Jawab nafsu, “Aku adalah aku dan kamu adalah kamu.”
Maka diazablah nafsu itu oleh Allah dalam neraka Jahanam selama seratus tahun, lalu dikeluarkan lagi. Kemudian Allah bertanya, “Siapakah kamu dan siapa Aku?”
Namun, nafsu itu tetap menjawab seperti tadi, hingga kemudian ditaruh dalam neraka lapar seratus tahun lamanya. Lalu ditanya Allah, barulah ia mengaku bahwa dirinya adalah hamba, sedang Dia adalah Tuhan. Sebab itulah Allah mewajibkan berpuasa.
Kisah diperintahkannya puasa 30 hari adalah dari nenek moyang kita, Nabi Adam Alaihissalam. Ketika memakan buah pohon dalam surga, buah tersebut mengendap dalam perutnya selama 30 hari.
Pada saat beliau bertaubat kepada Allah, Allah menyuruhnya berpuasa selama tiga puluh hari tiga puluh malam. Selama itu harus menahan lezatnya makan, minum, bersetubuh dan tidur pada waktu siang hari, dan di waktu malam diperbolehkan.
Hal tersebut membawa karunia dan kemurahan bagi kita umat Nabi Muhammad ﷺ.
(ACF)