Makna Hadis: Dunia adalah Penjara bagi Orang Beriman dan Surga bagi Orang Kafir

N Zaid - Tauhid 04/08/2025
ilustrasi. Foto: Pixabay
ilustrasi. Foto: Pixabay

Oase.id - Kewajiban setiap muslim adalah menjalankan ibadah seperti shalat, berpuasa dan mengeluarkan zakat. Selain keharusan melaksanakan ibadah-ibadah yang telah ditentukan oleh syariat, seorang Muslim juga tidak terlepas dari sejumlah perintah dan larangan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. 

Sebagian kita, telah mengetahui bahwa rutinitas ibadah, perintah dan larangan dalam bermuamalah akan membuat seseorang memiliki kedudukan yang tinggi di mata Allah. Sebab Allah sendiri berfirman bahwa kemuliaan seseorang ditimbang dari ketakwaannya, bukan hartanya, keturunannya, apalagi hanya karena elok raganya. Semakin tinggi ketakwaa seseorang, semakin ia mulia di mata Allah subhanahu wa'ta ala.    

Ayat yang patut jadi renungan saat ini adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)

Namun, kehidupan dunia sering membuat kita terpedaya. Kesenangan dunia, seolah terus memanggil untuk dicicipi. Di satu sisi, syariat memberi batasan kepada manusia untuk menikmati hanya yang dikatakan halal oleh ajaran agama. 

Ini membuat seseorang, terutama yang hidupnya jauh dari agama akan merasakan syariat hanya menjadi penghalang dirinya meraih kenikmatan-kenikmatan dunia. Rasululullah shallallahu alaihi wa sallam memahami keadaan ini dan membenarkan bahwa seorang Muslim memang 'terkurung' dan tidak bisa bebas bertindak di atas muka bumi ini. 

Namun, syariat memberi penjelasan yang akan membuat seseorang yang beriman bisa menghadapi segala aturan yang membatasi manusia bertindak sekehendak hatinya, ternyata memiliki kandungan makna yang dalam, dan pada akhirnya justru melegakan hati seorang insan, dan tidak lagi merasakan syariat sebagai beban. Segala pembatasan itu justru merupakan harapan yang menggembirakan hati meski dalam keadaan sempit. 

Bagaimana itu bisa terjadi? Simak penjelasan-penjelasan berikut ini.  

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
"الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ، وَجَنَّةُ الْكَافِرِ"
“Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim, no. 2956)

Hadis ini mengandung makna mendalam tentang posisi dunia dalam pandangan Islam. Dunia bukanlah tujuan akhir, melainkan tempat ujian yang penuh keterbatasan, terutama bagi orang beriman. Sedangkan bagi orang kafir, dunia ini menjadi tempat bersenang-senang sepuasnya, karena mereka tidak meyakini adanya kehidupan setelah mati.

Bagi seorang mukmin, hidup di dunia ibarat berada dalam penjara. Bukan karena ia selalu miskin atau tertindas, tetapi karena dirinya terikat oleh aturan dan nilai-nilai yang ditetapkan oleh Allah. Ia tidak bebas bertindak sesuka hati. Setiap langkah harus ditimbang dengan halal dan haram. Bahkan dalam urusan yang tampak sederhana seperti makan dan berbicara, seorang mukmin menjaga dirinya agar tidak keluar dari batas yang telah Allah tetapkan. Allah berfirman:

"Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (QS. Al-An'am: 162)

Ayat ini menggambarkan bahwa seluruh aspek kehidupan seorang mukmin adalah bentuk penghambaan. Karena itu, ia terus menerus mengekang hawa nafsunya agar tidak menjerumuskan kepada kemaksiatan. Ia berjuang melawan dorongan-dorongan duniawi dengan kesabaran dan harapan kepada akhirat. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (menggoda), dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat."
(HR. Muslim, no. 2742)

Meskipun dunia terlihat indah dan menjanjikan, bagi orang beriman, itu adalah ladang ujian yang harus dijaga. Kenikmatan yang ada di dunia bukanlah tujuan akhir, karena mukmin meyakini adanya kehidupan yang jauh lebih sempurna setelah kematian. Inilah yang membuat dunia terasa sempit baginya, sebab ia selalu hidup dalam kesadaran dan kehati-hatian.

Sementara itu, dunia adalah “surga” bagi orang kafir. Mereka tidak mempercayai adanya kehidupan setelah mati, sehingga seluruh perhatian dan usahanya tercurah untuk dunia ini. Mereka menikmati hidup dengan segala bentuk kebebasan—baik dalam hal harta, gaya hidup, bahkan dalam melanggar batas moral dan spiritual. Allah menggambarkan keadaan mereka dalam firman-Nya:

"Orang-orang kafir itu bersenang-senang dan makan seperti makannya hewan ternak. Dan nerakalah tempat tinggal mereka." (QS. Muhammad: 12)

Karena tidak meyakini akhirat, orang-orang kafir tidak merasa perlu membatasi diri. Mereka memanfaatkan dunia ini sebebas-bebasnya, seolah tak ada perhitungan di kemudian hari. Kenikmatan yang mereka rasakan adalah surga mereka yang terakhir, karena tidak akan ada bagian kenikmatan bagi mereka di akhirat, kecuali jika mereka bertobat dan beriman sebelum ajal datang.

Sementara orang beriman harus menahan diri di dunia, namun justru disiapkan kenikmatan yang abadi di akhirat. Allah menjanjikan dalam Al-Qur’an:

"Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah,’ kemudian mereka tetap istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), ‘Janganlah kamu takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan kepadamu.’" (QS. Fussilat: 30)

Dan dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ juga bersabda:

"Surga dikelilingi oleh hal-hal yang tidak menyenangkan, dan neraka dikelilingi oleh hal-hal yang menyenangkan (syahwat)." (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini menjadi penjelas bahwa jalan menuju surga bukanlah jalan yang penuh kenikmatan duniawi. Justru ia dipenuhi perjuangan, pengorbanan, dan ketekunan dalam ibadah. Sementara jalan menuju neraka tampak menyenangkan, karena penuh dengan pemuasan hawa nafsu yang tanpa batas.

Hadis “dunia adalah penjara bagi orang beriman” bukan ajakan untuk menyiksa diri atau anti dunia. Islam tidak melarang kekayaan atau keberhasilan duniawi. Namun, hadis ini mengajarkan perspektif yang benar tentang dunia: bahwa dunia bukanlah tempat tinggal yang sejati. Dunia adalah tempat kita diuji—bukan untuk dikejar habis-habisan, melainkan untuk digunakan sebagai bekal menuju akhirat.

Bila seorang mukmin merasa lelah, sempit, dan penuh tekanan karena berusaha hidup dalam ketaatan, maka ia harus bersabar. Karena itu semua hanya sementara. Dunia yang terasa seperti penjara ini hanyalah gerbang menuju kebebasan hakiki di surga kelak. Dan bagi yang kini hidup dalam kesenangan tanpa iman, hendaknya menyadari bahwa dunia bukanlah akhir dari segalanya. Surga bukan di sini, dan neraka bukan sekadar dongeng.


(ACF)
TAGs:
Posted by Achmad Firdaus