Apa Itu Sunnah? Simak Penjelasannya di Sini

N Zaid - Tauhid 05/08/2025
ilustrasi. Foto: Pixabay
ilustrasi. Foto: Pixabay

Oase.id - Sunnah, menurut para ulama hadis, adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan diam-diam, kepribadian, gambaran fisik, maupun biografinya. Tidak masalah apakah informasi yang diriwayatkan tersebut merujuk pada sesuatu sebelum atau sesudah kenabian beliau.

Penjelasan definisi ini:

Pernyataan Nabi ﷺ mencakup segala sesuatu yang beliau katakan dengan berbagai alasan pada berbagai kesempatan. Misalnya, beliau bersabda:

“Sesungguhnya amal itu tergantung niat, dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan.”

Perbuatan Nabi ﷺ mencakup segala sesuatu yang beliau lakukan yang diriwayatkan kepada kita oleh para sahabat. Ini mencakup bagaimana beliau berwudhu, bagaimana beliau melaksanakan salat, dan bagaimana beliau menunaikan ibadah haji.

Persetujuan diam-diam Nabi ﷺ mencakup segala sesuatu yang beliau katakan atau lakukan yang beliau setujui atau setidaknya tidak keberatan. Segala sesuatu yang mendapat persetujuan diam-diam dari Nabi sama sahnya dengan segala sesuatu yang beliau katakan atau lakukan sendiri.

Contohnya adalah persetujuan yang diberikan kepada para sahabat ketika mereka menggunakan kebijaksanaan mereka dalam menentukan waktu salat selama Perang Bani Quraydhah. Rasulullah ﷺ bersabda kepada mereka:

"Janganlah seorang pun di antara kalian melaksanakan salat Ashar sebelum kalian tiba di Bani Quraydhah."

Para sahabat baru tiba di Bani Quraydhah setelah matahari terbenam. Sebagian dari mereka mengartikan sabda Nabi secara harfiah dan menunda salat Ashar, dengan mengatakan: "Kami tidak akan salat sebelum kami tiba di sana." Sebagian lainnya memahami bahwa Nabi ﷺ hanya mengisyaratkan kepada mereka untuk segera melanjutkan perjalanan, sehingga mereka berhenti dan salat Ashar tepat waktu.

Nabi ﷺ mengetahui keputusan kedua kelompok tersebut, tetapi tidak mengkritik salah satu dari mereka.

Mengenai kepribadian Nabi ﷺ, ini mencakup pernyataan Aisyah (radhiyallahu 'anhu) berikut:

"Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. tidak pernah bersikap tidak senonoh atau vulgar, dan tidak pula bersuara keras di pasar. Beliau tidak pernah membalas hinaan orang lain dengan hinaan beliau sendiri. Sebaliknya, beliau bersikap toleran dan pemaaf."

Gambaran fisik Nabi ditemukan dalam pernyataan seperti yang diriwayatkan oleh Anas (radhiyallahu 'anhu):

"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. tidak terlalu tinggi dan tidak juga pendek. Beliau tidak terlalu putih dan tidak juga hitam. Rambutnya tidak terlalu keriting dan tidak pula terlalu panjang."

Hubungan antara Sunnah dan Wahyu
Sunnah adalah wahyu dari Allah kepada Nabi-Nya. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

"...Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadanya Kitab dan Hikmah..." (QS. Al-Baqarah: 231)

Hikmah mengacu pada Sunnah. Ahli hukum besar al-Syafi'i berkata: "Allah menyebutkan Kitab, yaitu Al-Qur'an. Aku telah mendengar dari orang-orang yang aku anggap ahli dalam Al-Qur'an bahwa Hikmah adalah Sunnah Rasulullah." Allah berfirman:

Sesungguhnya Allah telah memberikan nikmat yang besar kepada orang-orang beriman ketika Dia mengutus seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajari mereka dengan Kitab dan Hikmah. (Al Imran: 164)

Jelas dari ayat-ayat sebelumnya bahwa Allah telah menurunkan Al-Qur'an dan Sunnah kepada Nabi-Nya, dan bahwa Dia memerintahkannya untuk menyampaikan keduanya kepada manusia. Hadits Nabi juga membuktikan fakta bahwa Sunnah adalah wahyu. Diriwayatkan dari Mak'hul bahwa Rasulullah bersabda:

"Allah telah memberiku Al-Qur'an dan apa yang serupa dengannya dari Hikmah."

Al-Miqdam bin. Ma’di Karab meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

“Aku telah diberi Kitab dan bersamanya sesuatu yang serupa.”

Hisan bin Atiyyah meriwayatkan bahwa Jibril biasa mendatangi Nabi ﷺ dengan Sunnah sebagaimana ia mendatangi beliau dengan Al-Quran.

Pendapat Nabi ﷺ bukan sekadar pemikiran atau pertimbangan beliau sendiri tentang suatu hal; melainkan apa yang diwahyukan Allah kepadanya. Dengan demikian, Nabi berbeda dari umat lain. Beliau didukung oleh wahyu. Ketika beliau menggunakan penalarannya sendiri dan benar, Allah akan membenarkannya, dan jika beliau melakukan kesalahan dalam pemikirannya, Allah akan memperbaikinya dan membimbingnya kepada kebenaran.

Oleh karena itu, diriwayatkan bahwa Khalifah Umar berkata dari mimbar: “Wahai manusia! Pendapat Rasulullah ﷺ itu benar hanya karena Allah yang akan menurunkannya kepadanya. Adapun pendapat kami, itu hanyalah pikiran dan dugaan.”

Wahyu yang diterima Nabi ada dua jenis:

A. Wahyu informatif: Allah akan memberitahukan sesuatu kepadanya melalui wahyu, dalam satu bentuk atau lainnya, sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Qur'an berikut:

"Tidaklah pantas bagi seorang manusia bahwa Allah berbicara kepadanya, melainkan melalui wahyu, atau dari balik penghalang, atau dengan mengutus seorang Rasul ﷺ yang menurunkan dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana." (QS. 42:51)

Aisyah meriwayatkan bahwa al-Harits bin Hisyam bertanya kepada Nabi bagaimana wahyu datang kepadanya, dan Nabi ﷺ menjawab:

"Terkadang, malaikat datang kepadaku seperti dentingan lonceng, dan inilah yang paling sulit bagiku. Ia terasa berat bagiku dan aku menghafal apa yang ia katakan. Dan terkadang malaikat datang kepadaku dalam wujud manusia dan berbicara kepadaku dan aku menghafal apa yang ia katakan."

Aisyah berkata:

“Aku pernah melihatnya ketika wahyu turun kepadanya di hari yang sangat dingin. Setelah wahyu itu turun, dahinya penuh keringat.”

Terkadang, beliau ditanya tentang sesuatu, tetapi beliau tetap diam sampai wahyu turun kepadanya. Misalnya, orang-orang musyrik Mekah bertanya tentang jiwa, tetapi Nabi tetap diam sampai Allah menurunkan wahyu:

Mereka bertanya kepadamu tentang jiwa. Katakanlah: "Jiwa itu termasuk urusan Tuhanku, dan pengetahuanmu hanyalah sedikit." (QS. 17:85)

Ia juga ditanya tentang bagaimana pembagian warisan, tetapi beliau tidak menjawab sampai Allah menurunkan wahyu:

"Allah memerintahkan kepadamu tentang anak-anakmu..." (QS. 4:11)

B. Wahyu afirmatif: Di sinilah Nabi ﷺ menggunakan pertimbangannya sendiri dalam suatu perkara. Jika pendapatnya benar, wahyu akan datang kepadanya untuk menegaskannya, dan jika salah, wahyu akan datang untuk mengoreksinya, menjadikannya sama seperti wahyu informatif lainnya. Satu-satunya perbedaan di sini adalah bahwa wahyu datang sebagai hasil dari tindakan yang pertama kali dilakukan Nabi sendiri.

Dalam kasus seperti itu, Nabi ﷺ dibiarkan menggunakan pertimbangannya sendiri dalam suatu perkara. Jika ia memilih yang benar, maka Allah akan meneguhkan pilihannya melalui wahyu. Jika ia memilih yang salah, Allah akan mengoreksinya untuk melindungi integritas iman. Allah tidak akan pernah membiarkan Rasul-Nya menyampaikan kesalahan kepada orang lain, karena hal ini akan menyebabkan para pengikutnya juga jatuh ke dalam kesalahan. Hal ini akan bertentangan dengan hikmah di balik pengutusan para Rasul, yaitu agar manusia selanjutnya tidak memiliki argumen terhadap Allah. Dengan demikian, Rasul terlindungi dari kesalahan, karena jika ia berbuat salah, wahyu akan turun untuk mengoreksinya.

Para sahabat Nabi ﷺ mengetahui bahwa persetujuan diam-diam dari Nabi ﷺ sebenarnya adalah persetujuan Allah, karena jika mereka melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Islam selama masa hidup Nabi, wahyu akan turun dan mengutuk perbuatan mereka.

Jabir berkata: “Kami dulu melakukan azālī (coitus interruptus)[1] ketika Rasulullah masih hidup.” Sufyan, salah seorang perawi hadits ini, berkomentar: “Jika hal seperti ini dilarang, Al-Qur'an pasti telah melarangnya.”(islamland)


(ACF)
TAGs:
Posted by Achmad Firdaus