Di Tengah Hiruk Pikuk Tokyo, Ayah dan Anak Ini Meracik Warisan Kuliner dari Masa Edo

Oase.id - Jam menunjukkan pukul lima pagi. Di sebuah sudut kota Tokyo yang tenang, dua pria — ayah dan anak — berdiri berdampingan di dapur toko mereka. Tak ada percakapan di antara mereka, tak juga tatapan. Hanya gerak cepat yang nyaris mekanis, berpindah dari satu tugas ke tugas lain. Peluh mengilap di dahi mereka, membaur dengan aroma tajam dan manis yang menguar dari panci-panci logam besar.
Inilah rutinitas yang telah mereka jalani selama bertahun-tahun: memasak tsukudani, hidangan khas Jepang yang sudah berumur lebih dari dua abad, diwariskan sejak zaman Edo — jauh sebelum teknologi pendingin ditemukan.
Potongan ikan tuna, udang kecil, rumput laut, dan bahan-bahan laut lainnya direbus pelan-pelan dalam campuran sirup kecap, sake, dan gula. Prosesnya panjang dan telaten, dan setiap hari mereka menjalaninya dengan kesabaran seorang perajin.
Pagi itu giliran tsukudani kerang yang dimasak. Dua panci penuh dari pukul 6 hingga 7 pagi, lalu dua panci berikutnya dari pukul 7 hingga 8 pagi. Bahan-bahan lain akan dimasak di sore hari, menyesuaikan dengan pesanan yang datang dari restoran dan toko-toko pelanggan mereka.
Mengaduk masakan pun harus hati-hati. Terlalu sering, dan potongan bahan yang rapuh bisa hancur berantakan.
"Ayah saya sangat kuno," ujar Yoshihiro Kobayashi sambil menghela napas antara jengkel dan pasrah.
Namun di balik kata-katanya yang tampak biasa saja, tersimpan cinta dan hormat yang mendalam. Warisan itu nyata, dan kini berpindah tangan — meski tanpa banyak bicara.
Yoshihiro, yang sempat mencicipi dunia fesyen dan bekerja di sebuah department store, awalnya tak pernah berniat meneruskan pekerjaan ayahnya. Tapi takdir menuntunnya kembali ke dapur keluarga. Kini, ia adalah suara di balik bisnis ini, sementara sang ayah, Nobuo, lebih banyak diam — atau bercanda, seperti saat menolak difoto oleh wartawan.
"Jangan ambil gambarku," katanya sambil tertawa. "Kameramu bisa rusak."
Toko mereka, Tsukushin, menempati bangunan bekas pabrik di kawasan Tsukuda yang tenang, di tepian Sungai Sumida, pusat Tokyo. Di sinilah asal mula tsukudani. Nama hidangan ini sendiri berarti "dimasak di Tsukuda".
Plang kayu besar tergantung di depan toko-toko tua yang menjual tsukudani di kawasan itu. Tulisannya tegas: Asli. Pendiri. Pertama dan utama.
Di zaman sekarang, tsukudani sudah menjadi hidangan umum, tersedia di banyak tempat, dan sering kali diproduksi secara massal di pabrik modern. Namun di tangan keluarga Kobayashi, tradisi tetap dijaga. Mereka masih menggunakan kamado, wadah tanah liat kuno, meski kini dipanaskan dengan gas alih-alih kayu dan arang seperti dulu. Setelah matang, tsukudani ditata di atas piring saji kayu besar yang disebut handai — persis seperti cara para leluhur mereka melakukannya.
Prosesnya melelahkan. Butuh waktu sekitar satu jam untuk mendidihkan campuran secara stabil, dan hasilnya tak bisa banyak dalam sekali masak.
“Kalau di Barat, mungkin tsukudani ini bisa disamakan dengan selai,” kata Yoshihiro sambil tersenyum.
Di balik kesederhanaannya, tsukudani menjadi simbol bagaimana Jepang — di tengah dominasi teknologi tinggi dan perusahaan raksasa seperti Toyota atau Sony — tetap mempertahankan akar budayanya. Banyak tradisi masih bertahan melalui usaha kecil seperti milik keluarga ini.
Seporsi Nasi dan Sepenggal Sejarah
Biasanya, tsukudani disantap dengan nasi panas, ditemani sup miso atau pasta kedelai. Bisa juga jadi isian bola nasi, lauk bento, atau taburan chazuke, nasi yang disiram teh hijau. Kombinasi utamanya tetap: nasi dan tsukudani.
“Jangan coba-coba makan tsukudani dengan es krim atau keripik kentang,” kata Yoshihiro sambil tertawa kecil. “Rasanya pasti aneh.”
Kini, tantangan mereka bukan hanya menjaga kualitas, tapi juga mengenalkan hidangan ini pada generasi baru — termasuk anak muda Jepang sendiri, yang kadang tak tahu apa itu tsukudani.
Salah satu penikmat tsukudani yang cukup unik adalah Noriko Kobayashi (tak ada hubungan keluarga dengan pembuat tsukudani). Ia memiliki toko kecil di Tokyo yang menjual karya seni, patung kayu, kain bermotif, dan barang dari berbagai penjuru dunia, mulai dari Afrika hingga Skandinavia.
Noriko senang menikmati tsukudani rumput laut bersama keju dan sake — perpaduan tak biasa, namun ia menyukainya.
“Tidak ada yang spesial,” ujarnya santai. “Saya sudah makan tsukudani sejak kecil.”
Kini setelah dewasa, ia lebih menghargai manfaatnya. Menurutnya, tsukudani baik untuk pencernaan.
“Ini semacam makanan sehat,” ujarnya sambil tersenyum.
Di tengah dunia yang terus bergerak cepat dan berganti tren, kisah tsukudani dari tangan keluarga Kobayashi mengingatkan kita akan pentingnya mempertahankan yang lama, bukan karena takut pada perubahan, tapi karena ada nilai yang tak bisa digantikan oleh kemajuan apa pun — termasuk waktu sarapan yang dimulai sebelum matahari terbit, dengan panci-panci yang terus mendidih dalam keheningan. (dailysabah,AP)
(ACF)