Antara Mengakui Dosa dan Menghalalkannya: Hukum Islam tentang Perzinaan

N Zaid - Maksiat 30/06/2025
ilustrasi. Foto: Pixabay
ilustrasi. Foto: Pixabay

Oase.id - Di sebuah ruang pengakuan batin yang tak terlihat, seorang muslim bisa saja menangis tersedu setelah terjerumus dalam dosa zina. Ia sadar telah melanggar batas, merasa hancur secara moral, dan memohon ampunan Allah dengan hati remuk. Ia tahu dirinya berdosa. Ia tidak membela perbuatannya, tidak mencari-cari pembenaran, apalagi menyebutnya sebagai “hal biasa.”

Namun ada pula yang melangkah berbeda. Ia melakukan zina, tapi tak merasa bersalah. Tak ada getaran di hatinya saat hukum Allah disebut. Ia bahkan menyebut perbuatannya sah karena dilakukan atas dasar suka sama suka. Baginya, jika tidak merugikan orang lain, maka tak perlu merasa berdosa. Ia mungkin masih menyebut dirinya muslim, tapi ajaran tentang zina dianggapnya usang dan tak relevan.

Dua sikap itu—sama-sama jatuh pada perbuatan haram, namun berbeda dalam menyikapinya—membawa konsekuensi yang sangat jauh dalam timbangan hukum Islam.

Zina dalam Pandangan Islam
Dalam syariat Islam, zina—yakni hubungan seksual di luar pernikahan yang sah—merupakan salah satu dosa besar. Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadis secara tegas menyebutkan larangan dan hukuman terhadap perzinaan.

Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)

Para ulama sepakat, zina adalah perbuatan haram yang berdosa besar, dan pelakunya—jika memenuhi syarat tertentu dalam hukum pidana Islam (hudud)—dapat dikenakan hukuman berat, seperti rajam atau cambuk.

Namun yang menjadi sorotan bukan hanya perbuatannya, melainkan juga keyakinan hati pelakunya terhadap hukum Allah.

Zina Tapi Mengakui Dosa: Masih Dalam Iman
Seorang muslim yang terjerumus zina, tetapi masih meyakini bahwa perbuatannya adalah haram dan berdosa, tetap berada dalam lingkaran Islam. Ia fasik—pelaku dosa besar—namun tidak kafir.

Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam banyak penjelasan ulama: dosa besar tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, selama ia tidak menghalalkan dosa tersebut.

Taubat, dalam hal ini, menjadi pintu yang selalu terbuka. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Setiap anak Adam pasti pernah berbuat dosa, dan sebaik-baik orang berdosa adalah mereka yang bertobat.”
(HR. Tirmidzi)

Menghalalkan Zina: Jatuh pada Kekufuran
Berbeda halnya dengan orang yang meyakini bahwa zina bukan dosa. Jika seseorang menghalalkan zina—menyebutnya boleh, halal, sah, atau tak berdosa—maka ia telah melakukan kekufuran yang nyata.

Sebab, ia bukan sekadar berbuat dosa, melainkan mengingkari hukum Allah secara terang-terangan. Ini bukan soal moral pribadi, melainkan soal akidah.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menjelaskan dalam Majmu’ Fatawa:

"Barangsiapa yang menghalalkan sesuatu yang diharamkan secara mutlak dalam Islam dengan nash yang jelas—seperti zina, minum khamar, riba, dan semacamnya—maka ia telah kafir secara keluar dari agama."

Dalam konteks ini, menghalalkan zina sama saja dengan mendustakan ayat-ayat Allah dan melecehkan hukum-Nya. Maka pelakunya tidak hanya berdosa, tapi telah keluar dari Islam jika benar-benar meyakini kehalalan zina.

Fenomena “Normalisasi” Zina
Di era modern, muncul kecenderungan sebagian orang untuk membungkus perzinaan dengan istilah-istilah baru: “seks bebas,” “konsensual,” atau “hubungan suka sama suka.” Yang mengkhawatirkan bukan hanya perilakunya, tetapi munculnya anggapan bahwa itu adalah bentuk kebebasan dan bukan dosa.

Ketika masyarakat mulai memandang zina sebagai hal biasa, bahkan menyebutnya bagian dari ekspresi cinta atau hak individu, maka ini bisa menjadi jalan menuju kekufuran berjamaah jika disertai pengingkaran terhadap hukum Allah.

Jalan Kembali Selalu Ada
Zina adalah dosa besar. Tapi selama seorang hamba masih mengakui bahwa itu salah, dan ia bertobat dengan sungguh-sungguh, maka Allah Maha Penerima Taubat.

Sebaliknya, siapa yang menantang hukum Allah dengan menghalalkan zina, maka ia telah mengambil langkah yang bukan sekadar melawan norma—tetapi menginjak hukum Allah.

Islam bukan hanya agama yang mengatur ibadah, tetapi juga menata kehormatan manusia. Zina merusak jiwa, keluarga, dan tatanan masyarakat. Dan lebih dari itu: ia menguji kesetiaan kita pada perintah Allah.


(ACF)
TAGs:
Posted by Achmad Firdaus