Sepuluh Tahun Setelah Tragedi Sousse, Wisatawan Eropa Kembali ke Tunisia

Oase.id - Sepuluh tahun lalu, Tunisia diguncang tragedi besar yang melumpuhkan pariwisatanya. Serangan bersenjata di pantai Sousse tahun 2015 menewaskan puluhan wisatawan asing dan membuat negara Afrika Utara ini kehilangan salah satu sumber devisa terbesarnya. Namun kini, satu dekade setelah peristiwa kelam itu, wisatawan kembali berdatangan—memberi harapan baru bagi kebangkitan pariwisata Tunisia.
Tragedi 2015 yang Menghantam Industri Pariwisata
Pada Juni 2015, seorang mahasiswa Tunisia menyembunyikan senapan di dalam payung pantai dan menembaki wisatawan di luar sebuah hotel di Sousse, sekitar 140 kilometer dari Tunis.
Serangan brutal yang diklaim oleh kelompok Daesh itu menewaskan 38 orang, sebagian besar warga Inggris. Hanya beberapa bulan sebelumnya, serangan di Museum Bardo di Tunis juga merenggut 21 nyawa wisatawan asing.
Rangkaian kekerasan tersebut membuat pariwisata Tunisia terpukul hebat. Kepercayaan wisatawan luntur, dan salah satu sektor utama penyumbang devisa sekaligus penyedia ratusan ribu lapangan kerja hampir lumpuh.
Wisatawan Kembali Setelah Satu Dekade
Kini, situasi mulai berbalik. Menurut data Kantor Pariwisata Nasional, hingga 20 Juli 2025 jumlah wisatawan mancanegara yang masuk Tunisia mencapai 5,3 juta, naik hampir 10 persen dibanding tahun lalu. Pemerintah menargetkan 11 juta kunjungan pada akhir tahun, lebih tinggi dari 10 juta di 2024.
Pariwisata Inggris mengalami lonjakan paling tajam, naik 48 persen hingga pertengahan tahun. “Kembalinya wisatawan menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap Tunisia sebagai destinasi aman mulai pulih,” kata Maher Ferchichi, General Manager Pearl Marriott di Sousse. Ia menambahkan, lebih dari 90 persen tamu Eropa di hotelnya adalah wisatawan asal Inggris.
Duta Besar Inggris untuk Tunisia, Roddy Drummond, juga menegaskan optimisme tersebut. “Kami memperkirakan sekitar 400.000 wisatawan Inggris akan mengunjungi Tunisia pada tahun 2025, jumlah yang sebanding dengan sebelum peristiwa tahun 2015,” ujarnya.
“Tidak Ada Tempat yang Benar-Benar Aman”
Bagi sebagian turis, pengalaman traumatis tidak serta-merta menghalangi mereka kembali. Diane Paul, wisatawan berusia 74 tahun asal Wales, menginap di sebuah resor mewah di Sousse, tak jauh dari lokasi serangan 2015. Ia mengaku mengenal orang-orang yang selamat dari tragedi itu.
“Tidak ada tempat yang aman,” katanya sambil menikmati matahari siang. “Kami memutuskan untuk tidak membiarkan rasa takut menjadikan kami tawanan di negara kami sendiri.”
Senada, Eileen Cuciurean, wisatawan asal Inggris berusia 78 tahun, mengaku melihat lebih banyak rekan senegaranya di hotel tempat ia menginap. “Di tahun-tahun sebelumnya, terkadang kami sendirian,” katanya.
Tantangan: Wisata Terbatas di Balik Gerbang Hotel
Meski arus wisatawan kembali deras, tidak semua pelaku usaha merasakan dampaknya. Model paket lengkap (all-inclusive) membuat wisatawan cenderung tinggal di area hotel tanpa banyak berinteraksi dengan warga lokal.
“Memang benar kami punya jutaan turis, tapi mereka datang hanya untuk tidur dan makan di hotel,” keluh Mourad Hadhari, pedagang kerajinan di medina Tunis.
Ketua federasi agen perjalanan, Ahmed Bettaieb, menyebutkan sekitar 70 persen wisatawan asing datang melalui tur grup atau paket perjalanan. Kondisi ini membuat pelaku usaha kecil seperti pedagang, restoran, hingga pengrajin kesulitan mendapatkan manfaat langsung dari pariwisata.
Masa Depan Pariwisata Tunisia
Pemerintah dan pelaku industri berharap momentum ini bisa dimanfaatkan dengan mendorong lebih banyak investasi serta memperbanyak penerbangan langsung berbiaya rendah. “Kami membutuhkan lebih banyak penerbangan di luar musim ramai,” ujar Dora Milad, Ketua Federasi Perhotelan Tunisia.
Ia menambahkan bahwa meski wisata pantai menjadi daya tarik utama, keberlanjutan industri pariwisata akan sangat ditentukan oleh akses transportasi dan diversifikasi destinasi.
(ACF)