Kuliner Muslim Tiongkok Kian Diminati: Dari Mi Tarik hingga Produk Halal Siap Masuk Pasar Asia Tenggara
Oase.id - Kuliner Muslim Tiongkok kini semakin dikenal dan diminati di Asia Tenggara. Di Malaysia, makanan khas Muslim Tiongkok seperti mi tarik (hand-pulled noodles), hotpot halal, hingga masakan khas wilayah barat laut Tiongkok mulai mendapat tempat di hati para penikmat kuliner, khususnya umat Islam yang ingin mencoba cita rasa baru tanpa meninggalkan prinsip kehalalan.
Popularitas ini terlihat jelas dalam Chinese Muslim Food & Tourism Festival ke-3 yang digelar di pusat perbelanjaan 1 Utama, Selangor. Sejak pagi, antrean pengunjung sudah mengular di sejumlah stan, salah satunya stan Zenyishun, tempat para koki memperagakan langsung proses menarik mi secara manual sebelum dimasak dan disajikan.
Salah seorang koki di stan tersebut menyebutkan bahwa masyarakat Malaysia, khususnya Muslim, sangat menyukai mi dengan cita rasa pedas. Hal ini menunjukkan adanya kesamaan selera antara masakan Muslim Tiongkok dan lidah masyarakat Asia Tenggara.
Lebih dari Sekadar Festival Kuliner
Festival yang berlangsung dari 25 Desember hingga 4 Januari ini menghadirkan sekitar 55 stan makanan halal, mulai dari masakan khas Xi’an, Lanzhou, Xinjiang, Mongolia Dalam, hingga Yunnan. Menariknya, festival ini juga menghadirkan kuliner Palestina dan Pakistan, menegaskan semangat ukhuwah dan keberagaman dunia Islam.
Namun, bagi para pelaku usaha Muslim Tiongkok, festival ini bukan sekadar ajang berjualan. Banyak di antara mereka menjadikan acara ini sebagai uji pasar untuk produk makanan kemasan yang disiapkan masuk ke supermarket dan distribusi jangka panjang di Malaysia, bahkan Asia Tenggara.
Memperkenalkan Cara Makan Muslim Tiongkok
Di stan Truzago, Daud Min (45), pengusaha Muslim asal Provinsi Gansu, tampak sibuk menawarkan sosis halal dan mi tarik instan dalam kemasan. Ia menegaskan bahwa misinya bukan hanya menjual makanan, tetapi juga memperkenalkan budaya makan Muslim Tiongkok.
“Kami ingin orang merasakan bagaimana Muslim Tiongkok makan. Rasanya berbeda dengan masakan lokal, tapi tetap cocok,” ujarnya.
Daud yang telah menetap di Malaysia selama 20 tahun dan menikah dengan warga setempat menilai masyarakat Malaysia—dan Asia Tenggara secara umum—sangat terbuka terhadap kuliner lintas budaya. Mi instan produksinya pun dibuat lebih sehat karena dikukus, bukan digoreng, dan ditujukan untuk konsumsi praktis di rumah.
Ke depan, ia bahkan berencana membangun pabrik di Malaysia agar lebih dekat dengan pasar halal regional.
Malaysia sebagai Gerbang Pasar Halal Global
Penyelenggara festival, Shoaib Ma, menilai Malaysia sebagai pintu masuk strategis bagi produsen makanan Muslim Tiongkok untuk menembus pasar halal dunia. Menurutnya, ekosistem halal yang kuat dan sistem regulasi yang jelas menjadikan Malaysia lokasi ideal untuk ekspansi.
“Pasar halal global sangat besar, dengan miliaran Muslim. Malaysia adalah tempat terbaik untuk memulai,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Ma Yonggang, pemilik Zenyishun asal Chongqing. Ia menyebut sertifikasi halal JAKIM sebagai salah satu alasan utama memilih Malaysia, karena pengakuannya yang kuat di tingkat internasional.
Kini produknya telah digunakan di lebih dari 20 restoran di Kuala Lumpur, dan langkah selanjutnya adalah masuk ke jaringan supermarket serta membuka fasilitas produksi lokal.
Potensi bagi Pasar Muslim Indonesia
Bagi pembaca Muslim di Indonesia, tren ini menunjukkan bahwa kuliner halal lintas budaya memiliki potensi besar untuk berkembang, termasuk di Tanah Air. Dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, Indonesia bukan hanya pasar, tetapi juga mitra strategis bagi pengembangan industri halal global.
Festival ini sekaligus menegaskan bahwa identitas Islam mampu menyatukan keberagaman budaya—termasuk kuliner—tanpa kehilangan nilai kehalalan. Dari mi tarik hingga makanan kemasan halal, kuliner Muslim Tiongkok kini bersiap melangkah lebih jauh, dari restoran ke rak supermarket dunia.
(ACF)