Seni Membuat Kue, Penuh Terapi dan Harapan
Oase.id - Ketika orang membicarakan soal memanggang (baking), perhatian sering tertuju pada hasil akhirnya: kue kering yang lembut, muffin yang mengembang sempurna, atau brownies yang kaya rasa. Namun, daya tarik baking sesungguhnya justru dimulai jauh sebelum adonan kulit pai digilas.
Baking bisa bermakna banyak hal: proses penciptaan, sarana membangun koneksi, hingga bentuk pengendalian diri. Ada kenyamanan dalam strukturnya—menakar bahan, mengaduk adonan, lalu menyaksikan perubahan dari segenggam bahan sederhana menjadi sesuatu yang lezat.
Meski hidup tak selalu terasa tertata, mengikuti resep kerap memberi hasil sesuai harapan. Rasanya seperti terapi, dengan hadiah manis di penghujung proses.
“Baking adalah cara terbaik saya terhubung dengan dunia sekitar—membuat sesuatu yang indah, membaginya dengan orang lain, dan melihat betapa bahagianya mereka dari sesuatu yang saya buat dengan tangan sendiri,” ujar chef Joanne Chang, salah satu pemilik Flour Bakery di Boston sekaligus penulis buku-buku resep baking.
“Ini adalah cara membuat dunia sedikit lebih manis, satu kue, satu cake, satu pai pada satu waktu.”
Saat cuaca dingin, dapur yang hangat dan aroma manis dari oven menghadirkan rasa nyaman tersendiri. Namun baking juga bisa menjadi katarsis bagi emosi yang lebih bergolak. Istilah rage baking—memanggang sebagai pelampiasan amarah—dipopulerkan oleh penulis Tangerine Jones, yang menyalurkan kemarahannya terhadap ketidakadilan dunia lewat tepung dan gula.
Baking juga kerap menjadi sarana menjaga tradisi, atau sekadar menyalurkan rasa ingin tahu—misalnya, apa sebenarnya julekake itu?
Hannah Skobe, mahasiswa doktoral astrofisika di Pittsburgh, menyukai aspek kimia dalam baking—bagaimana mentega bereaksi pada suhu berbeda, atau mengapa protein putih telur rusak ketika dikocok berlebihan. Ia juga merasakan proses ini sebagai terapi, jeda yang sangat dibutuhkan dari rutinitas akademik.
Sementara itu, Ron Ben-Israel, pemilik sekaligus chef Ron Ben-Israel Cakes di New York yang dikenal dengan kue pengantin rumit, mengaku tertarik pada baking sejak kecil. Ia gemar mengamati perubahan bahan melalui teknik di dapur ibunya.
“Terutama proses mengocok putih telur hingga menjadi meringue, itu sangat memikat,” katanya.
Bagi Ben-Israel dan banyak orang lain, baking sarat dengan nostalgia: resep rugalach orang tua, pai buatan bibi favorit setiap Thanksgiving, atau kue yang dulu mereka hias bersama saat kecil.
Baking juga bisa menjadi penanda waktu. Ada apple crisp renyah dan buttery di musim gugur setelah memetik apel, roti soda Irlandia saat Hari St. Patrick, atau kue ulang tahun favorit yang wajib dibuat setiap tahun.
Alex George, pengelola blog Lily P Crumbs, menemukan kepuasan tersendiri pada aspek fisik baking. Memecahkan telur, mengocok mentega—semuanya memberi kenikmatan sensorik, terutama di dunia yang semakin didominasi layar. Menguleni adonan roti, meratakan icing di atas cinnamon roll.
“Para pembaca saya mencintai prosesnya sama besar dengan hasil akhirnya,” ujarnya.
George gemar menciptakan jenis-jenis kue baru, mencari inspirasi dari makanan yang ia cicipi. “Makanan gurih adalah sumber inspirasi favorit saya. Sup bawang Prancis yang luar biasa yang saya makan baru-baru ini mengilhami biskuit bawang karamel dengan compound butter rasa sup bawang.”
Bernard Wong, penggemar baking rumahan di New York, juga senang bereksperimen dengan teknik baru. Ia mencoba adonan berlapis seperti croissant dan puff pastry, serta teknik Asia Timur yang dikenal sebagai tangzhong di China dan yudane di Jepang—menuangkan air mendidih ke tepung untuk memasaknya sebagian, sehingga menghasilkan roti yang lebih lembut dan empuk.
Wong menikmati kepuasan memenuhi keinginan akan makanan tertentu dengan membuatnya sendiri. Ia pernah kesulitan menemukan roti anadama, roti ragi khas New England, namun memilih membuatnya sendiri karena tahu caranya.
“Lebih hemat, saya bisa mengontrol isinya, dan ini mengisi waktu ketika saya di apartemen sekaligus membuat tangan tetap sibuk,” katanya.
Ia sering memilih bahan berkualitas tinggi dan tetap menghemat biaya dibanding membeli produk jadi. Ia tak ragu menggunakan cokelat mahal seperti Callebaut atau Valrhona, serta menjejalkan cokelat chip sebanyak mungkin ke dalam kuenya.
Lebih dari itu, kue dan roti mudah dibagikan dan menjadi sarana mengekspresikan perasaan. Bisa sesederhana, “Aku kangen,” atau, “Aku rasa kamu butuh sesuatu yang manis untuk melewati momen ini.”
Skobe baru-baru ini membuat kue pisang dengan frosting krim keju untuk rekan-rekan kerjanya. “Saya senang melihat teman-teman datang ke meja saya untuk mengambil sepotong,” katanya.
Seperti diungkapkan Chang, “Saya bersyukur bisa melakukan sesuatu yang sangat saya cintai, dan yang juga dicintai banyak orang.”
Pada intinya, baking terasa penuh harapan. Ia bisa tentang memberi makan orang lain, merayakan sesuatu, atau menciptakan momen tenang di tengah dunia yang kacau. Namun, ia juga tentang keyakinan bahwa jika bahan ditakar dengan tepat dan langkah diikuti, sesuatu yang baik akan tercipta.
Oh, dan julekake? Itu adalah kue Natal Norwegia.(DS)
(ACF)