Asal-Usul Gelar Haji di Indonesia

N Zaid - Haji 11/07/2025
ilustrasi. Foto: Pixabay
ilustrasi. Foto: Pixabay

Oase.id - Setiap kali seseorang pulang dari ibadah haji di Tanah Suci, masyarakat Indonesia umumnya akan menambahkan gelar “Haji” atau “Hj.” (Hajjah) di depan namanya. Gelar ini bukan hanya bentuk penghormatan, tapi juga simbol status sosial dan spiritual yang telah mengakar dalam budaya lokal. Namun, dari mana asal-usul tradisi ini? Apakah pemberian gelar "Haji" memang berasal dari ajaran Islam, atau merupakan hasil adaptasi budaya?

Panggilan “Haji” di Dunia Islam
Secara harfiah, kata “Haji” berasal dari bahasa Arab حاجّ (ḥājj), yang berarti seseorang yang melakukan perjalanan haji ke Makkah. Dalam konteks masyarakat Arab, kata ini digunakan sebagai deskripsi status spiritual, namun tidak selalu digunakan sebagai gelar sosial di depan nama.

Menurut Prof. William Roff dalam bukunya "The Origins of Malay Nationalism" (1967), penggunaan kata "Haji" sebagai gelar kehormatan tidak umum di Timur Tengah, melainkan berkembang di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia dan Malaysia, sebagai bentuk status sosial religius.

Transformasi Menjadi Gelar di Indonesia
Penggunaan gelar "Haji" di Indonesia sudah ada sejak masa kolonial. Kala itu, umat Islam yang mampu menunaikan ibadah haji umumnya berasal dari kalangan berada dan dihormati. Mereka yang pulang dari Makkah sering kali dianggap sebagai tokoh masyarakat, bahkan memiliki pengaruh keagamaan dan sosial.

Dr. Howard M. Federspiel, dalam karya "Islam and Ideology in the Emerging Indonesian State" (2001), menyebut bahwa pada abad ke-19, otoritas kolonial Belanda melihat para Haji sebagai kelompok yang berpotensi menyebarkan ide-ide reformasi atau bahkan pemberontakan. Oleh karena itu, mereka memberlakukan kebijakan ketat terhadap keberangkatan haji, termasuk registrasi resmi dan pengawasan terhadap kepulangan jemaah.

Dari sini, gelar “Haji” tak hanya menandai pencapaian spiritual, tetapi juga dianggap sebagai simbol kebangkitan identitas Muslim yang lebih kuat dan terorganisir.

Gelar Sosial dan Status Elit Religius
Seiring berjalannya waktu, gelar "Haji" mulai menjadi simbol status sosial. Dalam masyarakat tradisional Indonesia, seseorang yang bergelar Haji kerap dianggap lebih terpandang, memiliki wawasan keislaman lebih dalam, dan layak menjadi panutan. Bahkan dalam struktur sosial desa, para Haji sering dipercaya menjadi ketua masjid, tokoh adat, atau penasihat masyarakat.

Peneliti dari UIN Jakarta, Prof. Azyumardi Azra, dalam "Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal" (2017), menjelaskan bahwa penyematan gelar Haji di Indonesia telah mengalami proses lokalisasi. “Gelar Haji di Indonesia bukan sekadar penanda spiritual, tetapi juga pengakuan sosial atas kapasitas moral dan ekonomi seseorang,” ujarnya.

Gelar yang Bertahan Hingga Kini
Meskipun di beberapa negara Islam lain seperti Mesir, Turki, atau Pakistan, gelar "Haji" tidak selalu disebutkan atau ditulis secara formal, di Indonesia praktik ini tetap lestari hingga kini. Nama "Haji" bahkan dicantumkan dalam dokumen resmi, kartu nama, papan usaha, hingga nama partai politik atau ormas keagamaan.

Namun, sebagian kalangan kini mulai mengkritisi penggunaan gelar ini secara berlebihan. KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), misalnya, pernah menyindir fenomena ini dalam ceramahnya, “Kalau niat haji hanya biar dipanggil Haji, bukan karena Allah, ya haji ‘mubazir’.” (Sumber: Ceramah KH. Mustofa Bisri dalam Ngaji Ihya, 2018)


 


(ACF)
TAGs:
Posted by Achmad Firdaus