Di Balik Haji yang Lancar, Ada Mereka yang Bekerja dalam Diam

Oase.id - Setiap musim haji, jutaan langkah kaki bergerak serempak dari tanah air menuju tanah suci. Di balik kemegahan prosesi itu—tangisan haru, lantunan talbiyah, dan pelukan perpisahan—ada satu sistem tak kasat mata yang menjaga semuanya tetap teratur: suara-suara tanpa wajah yang mengalir lewat alat komunikasi genggam bernama bravo.
Namun bukan alatnya yang ajaib, melainkan mereka yang mengendalikannya. Di Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz, Madinah, dan berbagai titik penting di Arab Saudi, ada orang-orang yang tak dikenal oleh jemaah, tak tampil di media, tapi menjadi penentu irama pergerakan. Mereka adalah Tim Bravo.
Salah satu di antara mereka adalah Kholis Tomin, mukimin asal Madura yang telah 20 tahun mengabdikan diri dalam berbagai peran layanan haji. Pernah menjadi perawat lansia, penghubung sektor, hingga pemandi jenazah, kini Kholis menjadi salah satu pengendali utama komunikasi pergerakan jemaah melalui bravo.
“Saya bukan siapa-siapa,” ucapnya lirih, sembari menggenggam alat komunikasi itu. “Tapi selama jemaah bisa sampai dengan selamat, saya merasa cukup.”
Kalimat itu bukan sekadar kerendahan hati. Dari balik alat mungil yang selalu menempel di tangannya, Kholis memandu kedatangan bus, mengatur distribusi jemaah, memberi peringatan cuaca, hingga menindaklanjuti keterlambatan. Ia sadar, setiap informasi yang ia ucapkan bisa berdampak besar pada ribuan orang, terutama para lansia yang mengandalkan kepastian layanan.
“Karena saya yakin, suara ini akan dicatat juga di langit,” katanya, menatap langit Madinah yang mulai hangat oleh mentari pagi.
Kholis bukan satu-satunya. Ada juga Iwan Bonex, ASN Kementerian Agama yang telah 17 tahun melayani jemaah haji. Dengan keahlian menjalin hubungan dengan maskapai, Iwan menjadi penghubung vital antara data pusat dan pergerakan di lapangan.
“Setiap laporan di bravo harus presisi. Kalau ada yang kurang atau keliru, bisa berdampak pada seluruh rantai pergerakan,” ujar Iwan.
Di sisi lain, Sadiri Sadimum Paki, mukimin asal Madura yang menetap di Arab Saudi sejak 2007, juga menjadi bagian tak terpisahkan dari Tim Bravo. Sejak bergabung pada 2015, Sadiri paham betul bahwa tugasnya tak hanya menyampaikan informasi, tapi juga menjamin akurasinya.
“Data kami soal jemaah sakit, tanazul, jumlah yang masuk dan keluar bandara—semua jadi rujukan utama. Salah sedikit, bisa kacau,” tegasnya.
Tahun ini, suara baru bergabung dalam orkestrasi sunyi itu: Mayor Laut Andi Irawan, seorang perwira TNI AL yang dipercaya menjadi bagian dari Tim Bravo PPIH Arab Saudi untuk pertama kalinya. Meski medan baru, baginya, bahasa komunikasi lapangan sudah tak asing.
“Di kesatuan, saya terbiasa pakai HT. Di sini sama saja. Hanya kali ini, saya menangani manusia yang ingin beribadah,” katanya.
Lebih dari itu, Andi juga aktif sebagai petugas perlindungan jemaah. Ia sering terlihat menggendong lansia yang kelelahan, mendampingi mereka dengan ketegasan yang lembut. “Itu jadi pengalaman paling berharga. Tugas kami bukan sekadar mengatur, tapi memberi rasa aman dan hormat pada jemaah,” katanya dengan suara yang sempat tercekat.
Tak ada mikrofon, tak ada panggung, dan tak ada kamera. Tapi suara-suara dari balik bravo inilah yang memastikan setiap langkah jemaah bergerak pada waktunya. Mereka bukan tokoh utama dalam siaran berita, bukan juga wajah yang dikenal publik. Namun justru dalam ketidakterkenalan itu, mereka menghadirkan ketenangan.
Bagi mereka, cukup melihat jemaah tiba di tempat tujuan, menjalani ibadah dengan tenang, dan pulang ke tanah air dalam keadaan utuh.
Di antara deru mesin pesawat dan keramaian logistik bandara, suara mereka mengalir seperti doa—doa yang tak terdengar, tapi mungkin paling ikhlas.
Mereka adalah penjaga sunyi dari perjalanan suci. Dalam diam, mereka menyatukan langkah, mengatur arus, dan menenun keberhasilan haji Indonesia satu gelombang demi satu gelombang.(kemenag)
(ACF)