Di Antara Cara Mengatasi Munculnya Rasa Riya

N Zaid - Riya 31/01/2023
Ilustrasi. Foto Pixabay
Ilustrasi. Foto Pixabay

Oase.id - Riya adalah lawan dari ikhlas. Ketika seseorang mengerjakan ibadah, perasaan riya dapat muncul mendominasi motivasi dalam perbuatan. Sementara, riya sendiri dapat menjerumuskan orang ke dalam dosa syirik kecil atau pun besar. Riya pun dapat menghanguskan amalan. Seberapa pun besarnya amal yang dilakukan, ketika sifar riya yang mendorongnya berbuat, maka amalan tersebut menjadi sia-sia, bahkan berujung balasan dari Allah ﷻ.

Riya adalah perasaan ingin diperhatikan oleh orang. Contoh ketika seseorang bersadaqoh namun tindakannya itu dilatari keinginannya untuk dipuji orang. Inilah yang disebut riya. Ini juga berlaku pada amal-amal ibadah lain. Seperti salat karena ingin dianggap saleh, membaca Quran dengan merdu agar dipuji, atau semisalnya. 

Berikut adalah dalil-dalil tentang riya 

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisaa’:142).

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia” (QS. Al-Baqarah:264).

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat karena riya” (QS. Al-Maa’uun:4-6).

Riya’ membuat amal sia-sia sebagaimana syirik. (HR. Ar-Rabii’). Sesungguhnya riya adalah syirik yang kecil. (HR. Ahmad dan Al Hakim).

Di antara cara mengatasi perasaan riya

Di antara berbagai cara untuk mengetahui potensi riya dalam setiap amalan yang akan kita kerjakan, Ustaz Firanda Andirja Abidin, Lc, Ma dalam bukunya 'Berjihad Melawan Riya dan Udzub' memberikan tips di antaranya adalah:

'Berhenti' sebelum beramal untuk berniat karena Allah

Yang pertama seseorang dianjurkan untuk berhenti sejenak sebelum beramal apa pun, baik sebelum salat, berdakwah, menulis tulisan ilmiah, menulis status atau komentar di media sosial. Hal  itu dimaksudkan untuk mengecek apakah perbuatan-perubatan itu dilakukan atas dasar keikhlasan karena Allah ﷻ.

Atsar berikut bisa menjadi perenungan untuk membersihkan niat kita dari keriyaan. 

Ada orang yang berkata kepada Nafi' bin Jubair, Apakah engkau tidak menghadiri seorang jenazah? Maka beliau pun berkata," Tetaplah di tem[atmu hingga aku berniat." Beialu pun berpikir sejenak lantas beliau berkata, " Mari kita jalan." (Jami'u Ulum wal Hikam, 29).

Memeriksa niat di tengah amal
Menurut Ustaz Firanda membagikan atsar dari Sufyan ats-Tsauri yang berkata:

"Tidak pernah aku meluruskan sesuatu lebih berat dari meluruskan niatku, karena niaku selalu berbolak balik padaku." (jami'ul Ulum wal Hikam 29).

Sementara Sulaiman bin Dawud Al-Hasyimi berkata:

"Terkadang aku menyampaikan sebauah hadits dan aku memiliki niat yang benar dalam menyampaikan hadits tersebut. Maka ketika aku menyampaikan sepenggal dari hadits tesebuat berubahlah niatku. Ternyata untuk menyampaikan suatu hadits membutuhkan banyak niat."(Jami;ul 'Ulum wal Hikam, 41).

Menyembunyikan amalan

Selain itu, untuk menjauhkan riya dari diri seseorang ketika beramal, perlu untuk menyembunyikan amalan shaleh. 

"Menyembunyikan amalan merupakan perkara yang sulit, karena memang hati berusaha dan gembira saat ada orang yang mengetahui amalan saleh kita, sehingga orang terebut akan tahu kedudukan kita. Akan tetapi barang siapa yang berusaha untuk menyembunyikan amalan shalehnya serta membiasakan dirinya dengan hal itu akan dimudahkan oleh Allah. Para salaf dahulu berusaha untuk menyembunyikan amalan mereka."

Pernah Imam Ahmad mengatakan kepada salah seorang muridnya (yang bernama Abu Bakar) tatkala sampai kepadanya kabar bahwa manusia memujinya: “Wahai Abu Bakar, jika seseorang mengetahui (aib-aib) dirinya maka tidak bermanfaat baginya pujian manusia”. (As-Siyar 11/211).

Ustaz Firdanda pun menukil atsar, di antaranya yang berikut: 

Berkata Abu Zur’ah Yahya bin Abi ‘Amr, “Ad-Dlohhak bin Qois keluar bersama manusia untuk sholat istisqo (sholat untuk minta hujan), namun hujan tak kunjung datang, dan mereka tidak melihat adanya awan. Maka beliau berkata: ”Dimana Yazid bin Al-Aswad?” (Dalam riwayat yang lain: Maka tidak seorangpun yang menjawabnya, kemudian dia berkata: ”Dimana Yazid bin Al-Aswad?, Aku tegaskan padanya jika dia mendengar perkataanku ini hendaknya dia berdiri”), maka berkata Yazid :”Saya di sini!”, berkata Ad-Dlohhak: ”Berdirilah!, mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan bagi kami!”. 

"Maka Yazid pun berdiri dan menundukkan kepalanya diantara dua bahunya, dan menyingsingkan lengan banjunya lalu berdoa: ”Ya Allah, sesungguhnya para hambaMu memintaku untuk berdoa kepadaMu”. Lalu tidaklah dia berdoa kecuali tiga kali kecuali langsung turunlah hujan yang deras sekali, hingga hampir saja mereka tenggelam karenanya. Kemudian dia berkata: ”Ya Allah, sesungguhnya hal ini telah membuatku menjadi tersohor, maka istirahatkanlah aku dari ketenaran ini”, dan tidak berselang lama yaitu seminggu kemudian diapun meninggal.” Lihat takhrij kisah ini secara terperinci dalam buku Sittu Duror karya Syaikh Abdul Malik Romadloni hal. 47.

"Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana Yazid Al-Aswad merasa tidak tentram dengan ketenarannya bahkan dia meminta kepada Allah agar mencabut nyawanya agar terhindar dari ketenarannya. Ketenaran di mata Yazid adalah sebuah penyakit yang berbahaya, yang dia harus menghindarinya walaupun dengan meninggalkan dunia ini. Allahu Akbar.. ! inilah akhlak salaf," tulis Ustaz Firanda. 


(ACF)
TAGs:
Posted by Achmad Firdaus