Kisah Nabi Muhammad Saat Yatim Piatu
Oase.id - Menurut riwayat yang paling masyhur, Nabi Muhammad ﷺ dilahirkan dalam kondisi yatim pada hari Senin, 12 Rabi’ul awal, di Mekah. Hitungan para orientalis menyebutnya, lahir pada tahun gajah, 570 Masehi.
Sedangkan, Mahmud Basya al-Falaki, seorang pengaji sejarah, Nabi Muhammad ﷺ lahir pada tanggal 9 Rabi’ul Awal, bertepatan dengna tanggal 20 April tahun 571 Masehi.
Sebab ayahnya meninggal dunia (yatim), yang mengurus dan mencukupi kebutuhannya adalah kakeknya, Abdul Muththalib. Sementara, yang merawat adalah ibundanya, Aminah binti Wahab.
Abdullah, ayah Nabi Muhammad ﷺ meninggal di Madinah, tepatnya saat usia 25 tahun, di kediaman paman-pamannya yang berasal dari keturunan Bani Najjar. Ketika itu, ia tengah menjalankan perintah Abdul Muththalib untuk membeli kurma di Madinah. Jenazahnya dikebumikan di Darun Nabighah, di bawah ambang pintu rumah kedua atau di sisi kiri pintu masuk Darun Nabighah.
Hal itulah yang akhirnya membuat Nabi Muhammad ﷺ kecil diasuh ibundanya sendiri dan menjadi tanggungan sang kakek, sekembalinya dari penyusuan di kampong Bani Sa’ad.
Saat usia Nabi Muhammad ﷺ genap 6 tahun, ibunda beliau, Aminah binti Wahab, meninggal dunia pula di Abwa. Ketia ia sedang dalam perjalanan pulang ke Mekah bersama Nabi Muhammad ﷺ setelah mengunjungi paman-paman dan saudaranya dari pihak ayah, yaitu Bani Adi ibn Najjar di Madinah.
Sepeninggal ibundanya, Nabi Muhammad ﷺ diantarkan oleh pelayan dan pengasuhnya, Ummu Aiman, kepada kakeknya ke Mekah.
Sejak saat itu, kakeknya, Abdul Muththalib merawat dan mengasuh beliau dengan segala kemampuannya hingga wafat. Saat kakeknya wafat, usia Nabi Muhammad ﷺ masih 8 tahun. Sebelum meninggal, kakeknya memberi wasiat pengasuhan Nabi Muhammad ﷺ kepada pamannya, Abu Thalib.
Abu Thalib adalah saudara kandung dari Abdullah, ayahnya. Ibunda dari keduanya, nenek Nabi Muhammad ﷺ, Fathimah bin Amru ibn A’idz.
Banyak warta yang meriwayatkan terkait bagaimana perhatian Abdul Muththalib terhadap Nabi Muhammad ﷺ. Salah satu riwayatnya disampaikan Abu Ya’la. Ia menuturkan, bahwa suatu ketika, kakeknya itu menyuruh Muhammad ﷺ mencari untanya yang hilang saat penggembalaan.
Setelah beberapa lama menunggu, Nabi Muhammad ﷺ tak kunjung datang, sehingga kakeknya gelisah dan bersusah hati. Ketika akhirnya Nabi kembali dengan membawa unta-untanya, kakeknya bersumpah tidak akan pernah lagi menyuruh dan meminta bantuan dari Nabi Muhammad serta berjanji tidak akan pernah meninggalkan cucunya sendirian.
Sejak saat itu, kakeknya selalu berada di dekat Nabi Muhammad ﷺ. Bahkan, Abdul Muththalib tidak pernah mengizinkan seorang pun memasuki bilik Nabi saat ia sedang tidur. Al-Azraqi dalam tarikh Makkah menyebutkan, bahwa Abdul Muththalib memiliki sebuah tikar khusus di dekat Ka’bah.
Tidak ada seorang pun dari anak-anaknya yang berani memakai tikar tersebut. Mereka hanya berani dan diperbolehkan duduk di sekitar tikar tersebut. Justru yang selalu duduk di tikar hanya Nabi Muhammad ﷺ dan kakeknya saja.
Selanjutnya, menurut beberapa kitab sirah, Abu Thalib, pamannya, juga memberikan perhatian yang sangat besar terhadap kemenakannya. Suatu ketika diceritakan, bahwa Abu Thalib tidak pernah tidur kecuali apabila Nabi Muhammad ﷺ sudah berada di sampingnya, ia tidak pernah pergi kecuali dengan mengajak Nabi Muhammad ﷺ.
Menariknya lagi, ia tidak pernah makan duluan sebelum Nabi Muhammad ﷺ makan terlebih dahulu. Pamannya ini mengasuh dan merawat Nabi dengan penuh perhatian dan telaten hingga ia wafat, yakni 3 tahun sebelum hijrahnya.
Pelajaran penting yang dapat diambil dari keyatiman Nabi Muhammad ﷺ.
- Allah menghendaki Nabi Muhammad ﷺ tumbuh sebagai seorang anak yatim dan jauh dari pendidikan ayah, bunda, dan kakeknya. Artinya, tidak ada alasan untuk meniupkan keraguan ke dalam hati dan benak manusia bahwa ajaran yang disampaikan Rasulullah ﷺ telah dipersiapkan sejak kecil oleh ayah dan kakeknya untuk menempati sebagai orang terpandang di mata manusia.
- Keyatim-piatuan Nabi Muhammad ﷺ mencerminkan bagi setiap anak yatim dan piatu di setiap ruang dan waktu, agar mengetahui bahwa terlahir sebagai seorang yatim atau piatu bukanlah siksaan dan hinaan. Lebih dari itu, agar sadar penuh bahwa untuk mendapatkan sebuah kedudukan tinggi, tidak boleh berpangku tangan dan mengharap belas kasihan terhadap saudaranya atau orang lain.
(ACF)