Masjid dan Dana Umat: Mengelola Zakat untuk Kesejahteraan yang Lebih Nyata

N Zaid - Zakat Masjid 09/07/2025
Masjid Gondanglegi. Foto: Pixabay
Masjid Gondanglegi. Foto: Pixabay

Oase.id - Masjid di Indonesia selama ini dikenal sebagai pusat ibadah dan spiritual umat. Namun, di balik fungsi utamanya tersebut, tersembunyi potensi besar yang belum sepenuhnya dimanfaatkan: sirkulasi dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS) yang mencapai triliunan rupiah setiap tahun. Fakta ini terungkap dalam Sarasehan dan Lokakarya Kemasjidan (Saraloka BKM) 2025 yang berlangsung di Jakarta pada 8 Juli 2025.

Saidah Sakwan, Pimpinan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) RI Bidang Pendistribusian dan Pendayagunaan, mengungkap bahwa dana ZIS yang berputar di masjid-masjid Indonesia berpotensi mencapai Rp6,5 triliun setiap tahunnya. Sayangnya, menurutnya, potensi luar biasa ini belum dikelola secara optimal, transparan, dan akuntabel.

“Kalau kita konsolidasikan secara nasional, sirkulasi dan akumulasi dana umat yang bergerak melalui masjid itu luar biasa. Dari survei kami, potensinya mencapai Rp6,5 triliun. Tapi sayangnya, belum banyak yang dikelola secara profesional,” ujar Saidah dalam forum tersebut, dikutip situs resmi Kemenag.

Menurutnya, dana publik seperti ZIS harus berada dalam sistem pengelolaan yang transparan. Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) perlu memiliki manajemen kelembagaan yang kuat agar dana umat tidak sekadar terkumpul, tetapi juga terdistribusi secara tepat sasaran.

Saidah menyoroti lemahnya kapasitas manajerial banyak masjid, yang belum memiliki Unit Pengumpul Zakat (UPZ) resmi atau sistem pencatatan keuangan yang memadai. Padahal, katanya, peran masjid seharusnya bukan hanya mengumpulkan dana, tetapi juga menjadi pengelola dan penggerak distribusi kesejahteraan.

Untuk menjawab tantangan tersebut, BAZNAS telah mengembangkan aplikasi digital “Menara Masjid”. Aplikasi ini dirancang sebagai sistem terintegrasi untuk pengelolaan zakat di lingkungan masjid, mulai dari crowdfunding, pencatatan dana, hingga proses legalisasi sebagai UPZ resmi. Melalui platform ini, masjid diberi ruang untuk tetap mengelola dan menyalurkan dananya secara mandiri, tetapi dalam kerangka regulasi dan pendampingan dari BAZNAS.

“Yang menarik, dana yang terkumpul di UPZ masjid tidak otomatis disetor ke BAZNAS pusat. Masjid tetap mengelola sendiri, tapi dengan regulasi dan pembinaan yang benar. Bahkan, BAZNAS biasanya justru menambah, bukan mengambil,” jelas Saidah.

Lebih dari itu, Saidah mendorong agar paradigma masjid diperluas. Ia mencontohkan praktik tempat ibadah di luar negeri yang menjadi pusat layanan sosial masyarakat, mulai dari menyediakan makanan, tempat tinggal, hingga akses keuangan. Hal ini menurutnya perlu menjadi inspirasi agar masjid di Indonesia bisa menjalankan peran yang lebih luas dan konkret dalam membangun kesejahteraan umat.

Dalam skema yang lebih besar, BAZNAS juga mulai membangun kolaborasi berbasis pentahelix—melibatkan pemerintah, akademisi, pelaku usaha, komunitas, dan media—untuk mendorong transformasi masjid sebagai pusat layanan sosial dan ekonomi umat.

Salah satu terobosan yang sedang dijalankan adalah pengembangan Badan Usaha Mikro Masjid (BNM). Melalui program ini, beberapa masjid telah berhasil menyalurkan pinjaman usaha tanpa bunga langsung kepada mustahik, bahkan mencapai nominal hingga Rp250 juta. Selain itu, konsep URBE (Unit Responsif Berbasis Masjid) juga mulai diterapkan. Masjid ditugaskan menjadi titik distribusi kebutuhan pokok seperti beras, minyak, dan telur—sehingga mustahik tidak perlu jauh-jauh mencari bantuan.

Inovasi lainnya adalah Zen Corner, sebuah food court berbasis masjid hasil kerja sama BAZNAS dan kelompok pemberdayaan masyarakat. Masjid dengan ruang strategis didorong untuk mengubahnya menjadi pusat ekonomi kuliner yang dikelola oleh dan untuk jamaahnya.

Tidak hanya berorientasi ekonomi, transformasi masjid juga diarahkan pada aspek keberlanjutan. Saidah memperkenalkan konsep Green Masjid, yaitu masjid yang mulai memanfaatkan teknologi ramah lingkungan seperti solar cell sebagai sumber energi alternatif.

“Masjid hari ini bukan hanya pusat ibadah, tapi juga bisa menjadi pusat pendidikan, ekonomi, sosial, dan ekologi,” tegas Saidah.

Ia menekankan bahwa angka Rp6,5 triliun bukan hanya statistik, melainkan peluang emas untuk membangun peradaban. Dalam pandangannya, masjid yang ideal adalah yang mampu menjawab kebutuhan riil masyarakat, menghadirkan solusi, dan menjadi poros peradaban yang hidup dan relevan dengan zaman.

Saraloka BKM 2025 sendiri merupakan bagian dari rangkaian Peaceful Muharam yang berlangsung pada 7–9 Juli 2025. Acara ini dibuka oleh Wakil Menteri Agama, Romo R. Muhammad Syafi’i, dan dihadiri oleh 300 peserta luring serta ratusan peserta daring dari seluruh Indonesia. Narasumber yang hadir berasal dari berbagai latar belakang, termasuk tokoh-tokoh organisasi keagamaan, akademisi, serta pejabat pemerintah seperti Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri Agus Fatoni, Ketua LTM PBNU Mokh. Mahdum, dan Direktur Urusan Agama Islam Kemenag Arsad Hidayat.

Dengan partisipasi lintas sektor ini, diharapkan transformasi masjid menuju pusat pelayanan umat yang modern, transparan, dan inklusif bisa benar-benar terwujud dalam waktu dekat.


(ACF)
TAGs:
Posted by Achmad Firdaus