Akad Nikah Secara Online, Sah Atau Tidak?

N Zaid - Pernikahan 05/10/2025
Ilustrasi pernikahan online: Pixabay
Ilustrasi pernikahan online: Pixabay

Oase.id - Di era digital, banyak urusan hidup kini bisa dilakukan secara daring—termasuk urusan pernikahan. Tak sedikit pasangan yang bertanya-tanya, apakah akad nikah secara online sah menurut hukum Islam?

Pertanyaan ini semakin sering muncul setelah banyak kasus pernikahan dilakukan lewat video call, terutama saat pandemi atau ketika calon mempelai dan wali berada di negara berbeda. Para ulama dan lembaga Islam besar, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), telah memberikan pandangan mereka mengenai hukum akad nikah semacam ini.

Ijtima’ Ulama VII Tahun 2021: Keputusan MUI tentang Akad Nikah Online

Pada November 2021, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwa, dalam forum Ijtima’ Ulama VII Se-Indonesia, secara resmi membahas fenomena akad nikah lewat online. Keputusan yang dihasilkan berisi ketentuan-ketentuan agar akad nikah online bisa dianggap sah dalam syariat Islam serta diakui menurut hukum di Indonesia. Keputusan ini muncul sebagai respons atas situasi di mana banyak orang mengalami kendala fisik untuk hadir secara langsung, seperti pada masa pandemi COVID-19, atau ketika calon pengantin dan wali berada di lokasi yang berbeda.

Inti Ketentuan: Bila Akad Online Boleh dan Bila Tidak

Dalam Keputusan tersebut, MUI menegaskan bahwa akad nikah online boleh saja, asalkan memenuhi beberapa syarat yang sangat penting agar tidak kehilangan keabsahannya secara agama. Namun, apabila syarat-syarat ini tidak dipenuhi, maka akad itu dianggap tidak sah.

Seperti yang diungkapkan Ketua Bidang Fatwa MUI, KH. Asrorun Niam Sholeh, salah satu syarat utama adalah bahwa akad nikah harus dilakukan dengan memenuhi rukun dan syarat sah ijab dan qabul, yang meliputi tiga unsur: pertama, ittihadul majlis atau kesatuan majelis, artinya semua pihak yang terlibat (wali, calon mempelai pria, saksi) berada dalam satu majelis. Kedua, lafadz ijab dan qabul harus sharih (jelas), tidak boleh ada lafadz yang samar atau ambigu. Ketiga, ijab dan qabul harus ittishal, yaitu bersambung secara langsung tanpa jeda yang memutus komunikasi di antara pihak-pihak yang akad. 

MUI juga mengatur kondisi jika calon pengantin pria dan wali tidak mungkin berada di tempat yang sama secara fisik: dalam kasus seperti itu, wali boleh menggunakan tawkil atau mewakilkan kepada orang yang sah. Tetapi jika baik kehadiran fisik maupun perwakilan tidak mungkin dilakukan, maka akad nikah secara online diperbolehkan hanya apabila syarat-syarat tambahan terpenuhi. 

Syarat Tambahan Agar Akad Online Sah

Ketika kehadiran fisik dan perwakilan tidak memungkinkan, ada sejumlah persyaratan yang MUI tetapkan agar akad nikah online tetap sah:

Wali, calon pengantin pria, dan minimal dua saksi harus terhubung melalui jaringan virtual yang mendukung audio dan visual. Artinya, mereka bisa melihat satu sama lain dan mendengar ucapan ijab qabul secara jelas melalui media daring. 

Akad harus berlangsung pada waktu yang sama (real-time); tidak cukup bila ada jeda atau tunda yang bisa memutus sambungan hukumnya. 

Harus ada jaminan kepastian identitas dan keberadaan pihak-pihak yang terlibat: bahwa yang berbicara benar calon pengantin, wali, saksi, dan bukan pihak yang menyamar atau tidak jelas. Kejelasan teknis diperlukan agar tidak terjadi kerancuan. 

Selain itu, akad nikah online tersebut harus memiliki pengakuan dari pemerintah, yaitu dicatatkan di pejabat pembuat akta nikah (KUA), agar statusnya diakui secara hukum negara. Tanpa pencatatan formal, status pernikahan bisa diragukan dampaknya dalam aspek hukum sipil. 

Bila Syarat Tidak Dipenuhi: Tak Sah

MUI dengan tegas menyatakan bahwa akad nikah online yang tidak memenuhi syarat-syarat pada kondisi ketika kehadiran fisik atau wakil tidak dapat dipenuhi (yaitu syarat tambahan di atas) tidak sah secara agama. Kesimpulan ini diambil agar tidak terjadi ketidakjelasan hukum dan moral dalam praktik pernikahan daring. 

Dasar Pemikiran dan Regulasi Pendukung

Keputusan Ijtima’ Ulama VII tidak muncul di ruang hampa. Terdapat beberapa dasar syar’i yang digunakan, seperti ayat Al-Quran tentang kemudahan dalam agama dan tidak dibebani di luar kemampuan (misalnya QS Al-Baqarah 185, 286; QS An-Nisa 28) serta hadis-hadis yang menekankan prinsip keadilan dan tidak menyulitkan umat. 

Di sisi regulasi negara, Keputusan ini juga merujuk kepada Peraturan Menteri Agama No. 20 Tahun 2019 tentang pencatatan nikah, yang mensyaratkan pencatatan formal atas semua pernikahan yang sah. Hal ini menjadi pengingat bahwa sahnya akad menurut agama belum cukup tanpa pengakuan hukum negara. 

Dari keputusan Ijtima’ Ulama ke-VII Tahun 2021, dapat diambil bahwa akad nikah online dibolehkan, dengan catatan bahwa semua ketentuan syariat dan regulasi negara terpenuhi. Bila calon pengantin dan wali bisa hadir secara langsung, maka tetap disarankan. Bila tidak bisa, penggunaan perwakilan (tawkil) atau pelaksanaan online bisa menjadi alternatif, tetapi harus memenuhi syarat teknis: koneksi audio-visual real time, identitas pihak jelas, serta pengakuan resmi lewat pencatatan di KUA.


(ACF)
TAGs:
Posted by Achmad Firdaus