Sampai Kapan Ayah Wajib Menafkahi Anaknya?
Oase.id - Dalam Islam, kewajiban seorang ayah menafkahi anak adalah perkara penting yang sering menimbulkan pertanyaan. Banyak yang bertanya, “Sampai kapan sebenarnya ayah wajib memberi nafkah kepada anaknya?” Pertanyaan ini dijelaskan dengan sangat bijak oleh Buya Yahya, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Bahjah, dalam salah satu ceramahnya.
Kewajiban Nafkah dan Batas Akil Baligh
Secara fikih, kewajiban ayah menafkahi anak berlaku sampai anak tersebut baligh (akil baligh). Setelah akil baligh, hukum nafkah memang berubah. Anak secara hukum sudah dianggap mampu memikul tanggung jawab hidupnya sendiri.
Namun Buya Yahya menegaskan, perubahan hukum fikih ini tidak berarti orang tua lalu lepas tangan. Sebab, kenyataan hidup tidak selalu hitam-putih seperti teks hukum. Banyak anak yang meskipun sudah baligh, masih lemah, masih sekolah, masih menata masa depan, dan belum mampu mandiri.
Di sinilah letak perbedaan antara sekadar menjalankan kewajiban fikih dan menjalani hidup dengan akhlak yang tinggi.
Menolong Anak yang Lemah adalah Akhlak Mulia
Buya Yahya menyebut sangat aneh jika ada orang tua yang gemar bersedekah ke sana kemari, tetapi justru membiarkan anaknya sendiri dalam keadaan lemah dan kesulitan. Padahal, dalam Islam, orang terdekat yang lemah justru lebih berhak ditolong dibandingkan orang lain.
Memberi nafkah kepada anak yang sudah dewasa tetapi masih membutuhkan bukan lagi kewajiban hukum, melainkan wujud kasih sayang orang tua, bagian dari usaha mewujudkan harapan agar anak menjadi pribadi yang sukses dan mandiri.
Utang Anak dan Orang Tua: Bukan Kewajiban, Tapi Kasih Sayang
Buya Yahya juga meluruskan pemahaman tentang utang. Utang anak bukan kewajiban ayah, dan utang orang tua juga bukan kewajiban anak. Masing-masing memikul tanggung jawabnya sendiri.
Namun, jika seorang ibu memiliki utang dan berada dalam kesulitan, sementara anaknya mampu, sungguh tidak pantas jika hati sang anak tidak tergerak untuk membantu. Begitu pula sebaliknya, jika anak terlilit utang dan orang tua mampu, maka membantu adalah hal yang wajar — bukan karena kewajiban, tetapi karena cinta dan kasih sayang.
Yang keliru adalah sikap “tidak tahu diri”, baik dari anak maupun orang tua. Anak yang merasa utangnya wajib dibayar orang tua adalah anak yang keblinger. Sebaliknya, orang tua yang tega membiarkan anaknya benar-benar tak berdaya juga patut bercermin.
Setelah Fikih, Akhlak pun Diperlukan
Buya Yahya mengingatkan, fikih adalah batas minimal agar manusia tidak berbuat zalim. Tapi hidup tidak cukup dengan fikih saja. Ada akhlak, nurani, dan kasih sayang yang levelnya jauh lebih tinggi.
Beliau memberi contoh: seseorang bisa saja sudah menunaikan zakat, tetapi jika melihat tetangganya sakit parah dan tidak tergerak membantu, di situlah nurani dipertanyakan. Demikian pula dalam keluarga, nafkah dan bantuan tidak boleh semata-mata hitung-hitungan kewajiban.
Bahaya Anak yang Tidak Tahu Adab
Buya Yahya mengingatkan keras tentang sikap anak yang berani menuntut warisan padahal orang tuanya masih hidup. Itu bukan sekadar kesalahan hukum, tetapi kerusakan adab dan akhlak. Meminta warisan saat orang tua masih hidup sama saja dengan mendoakan kematian orang tua tersebut — sebuah sikap yang sangat berbahaya.
Hubungan orang tua dan anak harus dibangun di atas kasih sayang, adab, dan rasa terima kasih, bukan asas “mentang-mentang”.
Indahnya Memberi dan Menerima dengan Kasih Sayang
Islam mengajarkan keindahan dalam hubungan keluarga. Ayah memberi dengan kasih sayang, anak menerima dengan rasa syukur dan adab. Anak meminta bantuan dengan bahasa yang santun, bukan dengan dalih “jatah” atau tuntutan.
Sebagaimana pesan Buya Yahya, kebahagiaan sejati ada saat seorang anak mencurahkan kemampuan untuk membahagiakan orang tuanya, dan orang tua dengan lapang dada menolong anaknya yang membutuhkan.
(ACF)