Memegang Kemaluan Setelah Wudhu, Batal?

Oase.id - Dalam ajaran Islam, wudhu memiliki kedudukan penting sebagai syarat sahnya ibadah seperti salat. Namun, dalam praktik sehari-hari, muncul berbagai pertanyaan seputar hal-hal yang bisa membatalkan wudhu, salah satunya adalah menyentuh kemaluan sendiri setelah berwudhu. Pertanyaan ini bukanlah sesuatu yang baru, melainkan telah dibahas sejak zaman Nabi ﷺ dan para sahabat, serta dijelaskan lebih lanjut oleh para ulama dari berbagai mazhab.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Busrah binti Shafwan radhiyallahu 'anha, Rasulullah ﷺ bersabda, "Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka hendaklah ia berwudhu." (HR. Abu Dawud, no. 181; Tirmidzi, no. 82; hadits ini dinilai sahih oleh Al-Albani). Hadits ini menjadi dasar utama bagi ulama yang berpendapat bahwa menyentuh kemaluan secara langsung tanpa penghalang membatalkan wudhu. Mereka menilai bahwa perintah berwudhu setelah menyentuh kemaluan dalam hadits tersebut menunjukkan kewajiban, karena bentuk kalimatnya adalah perintah (fi'il amr).
Di sisi lain, terdapat hadits lain yang tampaknya bertentangan dengan hadits Busrah, yakni hadits dari Thalq bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Ia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ, "Ya Rasulullah, apakah menyentuh kemaluan membatalkan wudhu?" Nabi ﷺ menjawab, "Itu hanyalah bagian dari tubuhmu." (HR. Abu Dawud no. 182; Ahmad; dinilai sahih oleh sebagian ulama). Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh kemaluan dipandang seperti menyentuh bagian tubuh lainnya, yang tidak membatalkan wudhu.
Dari dua hadits yang tampak berbeda ini, muncullah perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali berpandangan bahwa menyentuh kemaluan secara langsung dengan telapak tangan membatalkan wudhu. Mereka mengambil hadits Busrah sebagai dalil utama, dan menganggap bahwa hadits Thalq telah dimansukh (dihapus hukumnya) atau dipahami dalam konteks yang lebih sempit, yakni jika tidak menyentuh dengan syahwat atau dengan perantara.
Sebaliknya, mazhab Hanafi berpandangan bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu. Mereka menguatkan pendapat ini dengan hadits Thalq bin Ali yang menyatakan bahwa kemaluan adalah bagian dari tubuh, sehingga menyentuhnya tidak menyebabkan wudhu batal. Dalam pandangan mazhab ini, selama tidak keluar sesuatu dari kemaluan, wudhu tetap sah.
Ada juga ulama yang mencoba menggabungkan dua hadits tersebut, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Mereka menyatakan bahwa menyentuh kemaluan bisa membatalkan wudhu jika disertai dengan syahwat, namun tidak membatalkan jika dilakukan tanpa syahwat. Menurut pendekatan ini, hadits Busrah dipahami dalam konteks adanya rangsangan atau niat seksual, sementara hadits Thalq berlaku dalam kondisi menyentuh biasa, seperti saat bersuci atau membasuh tubuh. Pendekatan ini dianggap moderat karena tidak menafikan salah satu hadits, melainkan mengompromikan keduanya dalam konteks yang berbeda.
Dalam praktik sehari-hari, umat Islam yang mengikuti mazhab Syafi’i umumnya akan mengulang wudhunya jika menyentuh kemaluan langsung, meski tanpa syahwat, sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjaga kesucian. Sementara mereka yang mengikuti mazhab Hanafi tidak menganggap wudhunya batal dalam kasus seperti ini. Namun bagi yang tidak terikat dengan mazhab tertentu, pendekatan yang mengaitkan batal tidaknya wudhu dengan keberadaan syahwat bisa dijadikan pilihan yang moderat dan sesuai dengan logika dalil-dalil yang ada.
Dengan memahami dalil dan pendapat para ulama ini, kita dapat mengambil sikap sesuai dengan keyakinan yang dibangun di atas ilmu. Jika seseorang berada di lingkungan masyarakat yang cenderung mengikuti mazhab Syafi’i, mengambil langkah berwudhu ulang bisa menjadi bentuk kehati-hatian dan menjaga keharmonisan. Namun bila seseorang mengikuti pendapat yang lebih longgar, ia tetap memiliki dasar yang kuat dari hadits dan pendapat ulama terdahulu.
Dikutip dari Rumaysho, Saikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Pendapat yang lebih kuat, hukum berwudhu ketika menyentuh kemaluan adalah sunnah (dianjurkan) dan bukan wajib. Hal ini ditegaskan dari salah satu pendapat Imam Ahmad. Pendapat ini telah mengkompromikan berbagai dalil sehingga dalil yang menyatakan perintah dimaksudkan dengan sunnah (dianjurkan) dan tidak perlu adanya naskh pada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukankah kemaluan tersebut adalah sekerat daging darimu?” (Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/241, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H)
Namun bila ingin lebih hati-hati, ada pendapat dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin -rahimahullah- bahwa menyentuh kemaluan tanpa syahwat disunnahkan (dianjurkan) untuk berwudhu, sedangkan jika dilakukan dengan syahwat diharuskan (diwajibkan) untuk berwudhu. Inilah pendapat beliau dalam Syarhul Mumthi’ dalam rangka kehati-hatian, untuk melepaskan diri dari perselisihan ulama yang ada.
(ACF)