7 Penjelasan Ust Raehanul tentang Puasa Arafah Ikut Pemerintah

N Zaid - Haji Iduladha 06/07/2022
Ilustrasi. Pixabay
Ilustrasi. Pixabay

Tahun ini terdapat perbedaan penetapan hari raya IdulAdha 1443 H, antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi. Pemerintah menetapkan IdulAdha jatuh pada 10 Juli, sementara Arab Saudi menetapkan 9 Juli.

Ini membuat kebingungan bagi umat apakah puasa Arafah menyesuaikan dengan ketetapan pemerintah atau sesuai dengan pelaksanaan hari wukuf di Padang Arafah.

Ustaz Raehanul Bahraen, dalam unggahannya di channel Youtubenya memberi penjelasan tentang perbedaan tersebut dan solusi dalam menyikapinya.

"Yang jadi permasalahan adalah kapan puasa Arafah apakah mengikuti waktu wukuf di Saudi atau waktu rukyat pemerintah setempat? Hal ini ada ikhtilaf antara ulama dan setahu saya ini ikhtilaf yang muktabar artinya kita harus berlapang-lapang. Saling menghormati dan jangan sampai bermusuhan hanya karena masalah ini," ujar Ustaz Raehanul.

Pendapat untuk mengikuti ketetapan pemerintah

Dari perbedaan yang ada, menurut Ustaz Raehanul, pendapat yang rojih adalah mengikuti penetapan 10 Zulhijjah 1443 H dari pemerintah.

"Akan tetapi tentu ada pendapat yang lebih rojih dan dalam hal ini di antara pendapat para ulama, saya memilih pendapat yang lebih rojih yakni mengikuti rukyat pemerintah setempat dengan beberapa dalil dan alasan," imbuh Ustaz yang juga merupakan seorang dokter ini.

Berikut adalah penjelasan Ustaz Raehanul Bahraen tentang pendapatnya yang memilih mengikuti tanggal puasa Arafah sesuai dengan ketetapan pemerintah Indonesia:

1. Yang pertama dalil menyebutkan puasa itu berdasarkan waktu bukan berdasarkan tempat termasuk puasa Arafah pada 9 Zulhijjah.

2. Pendapat terkuat bahwa matla setiap daerah berbeda-beda. Jadi rukyat setiap tempat berbeda-beda. Bisa jadi kita dan Saudi itu berbeda. Berbeda antara hari Arafah dan puasa Arafah.

3. Hari Arafah adalah di mana manusia itu wukuf, sedangkan puasa Arafah itu pada tanggal 9 Zulhijjah.

4. Poin keempat, puasa Arafah disyariatkan pada tahun 2 Hijriah, sedangkan syariat wukuf dan sebagian manasik haji pada 6 Hijriah. Jadi tahun 2 sebelumnya itu memakai rukyat dan belum ada wukuf.

Kemudian ada kasus di mana haji itu tidak bisa dilaksanakan baik itu karena perang atau wabah, dsb sehingga tidak ada manusia yang wukuf di Arafah, dan kita tetap berpuasa Arafah meski tidak ada manusia wukuf di Arafah.

5. Poin kelima, Nabi Muhammad  ﷺ  bisa saja meminta kabar dari Makkah ketika waktu wukuf tetapi Beliau  ﷺ tetap berpatokan hilal yang ada di Madinah.

Dan kita berpikir di zaman dulu kala belum ada internet dan TV, mungkin 500 tahun lalu bagaimana kaum muslimin di Indonesia? apakah mereka harus berlayar sebulan, naik kuda berbulan-bulan untuk tanya dulu wukufnya kapan di Makkah. Karena memakan waktu berbulan-bulan untuk sampai ke Makkah dan itu tidak mungkin. Di zaman tidak ada internet dan TV, tetap saja berpatokan rukyat hilal pemerintah setempat.

6. Poin enam, puasa bersama mayoritas penduduk negeri berdasarkan ketetapan pemerintah dan ini lebih menyatukan hati kaum muslimin. Kita berpuasa sebagaimana mayoritas manusia puasa.

7. Poin tujuh, berpuasa bersama pemerintah menyatukan hati kaum muslimin. Hukmul hakim ilzamun wa yarfa'ul khilaf. Ketetapan pemerintah akan mengangkat perbedaan karena perlu pemerintah yang menyatukan. Karena bila berdasarkan ormas kelompok, misal ada 10, mana yang akan kita ikuti?! Tentu lebih baik kita ikuti pemerintah.

"Intinya karena ini khilaf muktabar kita saling menghormati jangan jadi sarana berpecah belah. Alangkah baiknya mencari solusi titik temu," pesan Ustaz yang juga menjadi dosen di Fakultas kedokteran Universitas Mataram ini.

Misal ada yang berkeyakinan (IdulAdha) 10 Juli kemudian terlanjur berkurban di masjid yang menetapkan 9 Juli, solusinya meminta ke panitia kurbannya disembelih besoknya karena menurut versi dia besok IdulAdha.

"Yang meyakini IdulAdha lebih awal (9 Juli) berarti besoknya (10 Juli) hari tasyrik. Masih sah menyembelih kurban pada saat itu," ujar Ustaz Raehanul.


(ACF)
TAGs:
Posted by Achmad Firdaus