Kemenag Luncurkan Program Ngaji Fasholatan dan 1.000 Masjid Ramah Penyandang Disabilitas dan Lansia

Oase.id - Sebagai bagian dari upaya menjadikan masjid lebih terbuka bagi semua kalangan, Kementerian Agama meluncurkan dua program utama: Ngaji Fasholatan dan 1.000 Masjid Ramah Penyandang Disabilitas dan Lansia. Peluncuran program tersebut digelar dalam acara bertajuk Kick Off Program Ngaji Fasholatan dan 1.000 Masjid Inklusif di Jakarta, Selasa (24/6/2025).
Masjid Harus Jadi Ruang Publik yang Adil
Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah, Arsad Hidayat, menyoroti rendahnya aksesibilitas masjid bagi kelompok rentan. Berdasarkan survei dari Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, 46 dari 47 masjid yang diteliti belum ramah terhadap lansia dan penyandang disabilitas. “Ini pukulan besar bagi kita,” ujarnya.
Arsad menekankan pentingnya mengubah pola pikir masyarakat. Masjid harus diperlakukan sebagai ruang publik yang adil dan inklusif. Ia menambahkan, menurut data BPS, ada sekitar 23 juta atau 8,5 persen warga Indonesia yang merupakan penyandang disabilitas. “Jangan lagi ada anggapan bahwa mereka cukup beribadah di rumah,” tegasnya.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Kementerian Agama telah menerbitkan Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor 958 Tahun 2021, yang mengatur standar minimal fasilitas fisik dan pelatihan bagi pengelola masjid. Beberapa masjid seperti Istiqlal dan el-Syifa Ciganjur telah menjadi contoh baik dengan menyediakan akses vertikal dan toilet khusus.
Gerakan Ngaji Fasholatan: Pondasi Karakter dan Transformasi Sosial
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Abu Rokhmad, menjelaskan bahwa Ngaji Fasholatan tidak sekadar mengajarkan gerakan salat. Lebih dari itu, gerakan ini ditujukan untuk memperkuat fungsi masjid sebagai pusat pendidikan karakter umat. "Masjid harus menjadi tempat mengaji diri, memperbaiki niat, bacaan, hingga makna salat,” jelasnya.
Ia menyatakan bahwa kualitas kehidupan berbangsa sangat bergantung pada kualitas salat umat Islam. “Kalau salatnya benar, yang lain ikut benar. Kalau salatnya rusak, yang lain pun ikut rusak. Bahkan urusan rezeki, rumah tangga, dan akhlak semua bisa kita benahi dari salat,” ujarnya.
Masjid sebagai Ruang Sosial, Bukan Sekadar Tempat Salat
Menurut Abu Rokhmad, masjid perlu berkembang menjadi pusat pelayanan sosial dan pemberdayaan umat. Ia menekankan pentingnya menciptakan lingkungan masjid yang aman dan nyaman, terutama bagi kelompok rentan. “Bayangkan para lansia bisa bertemu sahabat seangkatan di masjid, saling menyapa, saling bercerita. Tempat paling indah bagi mereka adalah masjid,” ungkapnya.
Ia juga menggarisbawahi bahwa gerakan masjid inklusif bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga menyentuh kesadaran kolektif para pengurus dan jamaah. Semua warga negara berhak atas layanan keagamaan yang layak dan bermartabat.
Usulan Bantuan Operasional Masjid
Dalam sambutannya, Abu Rokhmad juga mendorong kehadiran negara dalam mendukung operasional masjid. Ia mengusulkan adanya Bantuan Operasional Masjid (BOM), mencontoh skema BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk madrasah. “Kalau BOS bisa satu juta per siswa, mengapa kita tidak ukur juga nilai satu jamaah masjid? Apalagi jemaah subuh,” katanya.
Ia menilai bahwa selama ini, masjid telah dibangun dan dirawat secara swadaya oleh umat Islam. Namun, untuk meningkatkan kualitas layanan, dukungan dari negara sangat dibutuhkan. “Kita sudah punya semangat gotong royong luar biasa. Tapi untuk layanan terbaik, negara harus hadir secara strategis,” tuturnya.
Mimbar Jumat, Media Dakwah Strategis
Lebih lanjut, Abu menyatakan bahwa mimbar Jumat seharusnya menjadi media penting untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan nasional. Ia menilai bahwa isu-isu seperti toleransi, ketahanan keluarga, bahaya narkoba, hingga stunting bisa disampaikan secara efektif dari mimbar. Namun ia mengingatkan, pesan itu hanya sah jika khatib memenuhi syarat. “Kalau khatibnya tidak memenuhi syarat, Jumatannya tidak sah, dan negara juga yang rugi,” tegasnya.
Literasi Ibadah Ramah Disabilitas
Arsad Hidayat menutup dengan menyampaikan apresiasinya terhadap Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an yang telah mengembangkan panduan Al-Qur’an ramah disabilitas. Menurutnya, ini adalah bagian penting dari upaya menjadikan masjid sebagai rumah spiritual yang benar-benar terbuka bagi semua.
“Isu ini bukan cuma tentang arsitektur, tapi juga cara pandang kita terhadap siapa saja yang berhak mendapat tempat di masjid. Tugas kita adalah memastikan semua hasil program ini dilanjutkan hingga ke tingkat pengelola masjid,” pungkasnya.(kemenag)
(ACF)