28 April 2016: KH Ali Mustafa Yaqub Berpulang
Oase.id- Kamis itu seperti biasa, jadwal mahasantri putri Pondok Pesantren Darus-Sunnah mengaji Shahih Bukhari dengan Prof. KH Ali Mustafa Yaqub. Namun sayang, Bapak, begitu sapaan akrab para santri, mengaku tak enak badan dan meminta digantikan mengajar.
Di awal waktu Duha, tersiar kabar bahwa Kiai Ali Mustafa telah meninggal dunia. Sebelumnya, Imam Besar Masjid Istiqlal ini sempat dirujuk ke RS. Hermina Ciputat.
KH. Ali Mustafa Yaqub merupakan salah satu ulama Nusantara yang dikenal kepakarannya dalam bidang hadis dan ilmu hadis. Putra dari pasangan Kiai Yaqub dan Siti Habibah ini lahir di Desa Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, pada 2 Maret 1952 M.
Ulin Nuha dalam Meniti Dakwah di Jalan Sunnah (2018) menuliskan, ayah Ali Mustafa, Kiai Yaqub memang bukan tokoh agama yang berpendidikan tinggi di desanya. Namun dia adalah sosok yang amat takzim pada guru dan ulama, juga memiliki tekad kuat untuk membekali putra-putrinya pendidikan tinggi.
Baca: 25 April 1946: KH Mas Mansur Wafat
Riwayat pendidikan
Ali Mustafa kecil menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di desa kelahirannya, Kemiri. Sambil mengenyam pendidikan SMP, ia seringkali dititipkan ke pesantren milik Kiai Subari.
Saat menginjak kelas 3 SMP, anak kelima dari tujuh bersaudara ini sudah mulai mengikuti organisasi Nahdlatul Ulama (NU), yakni Gerakan Pemuda (GP) Ansor. Empat bulan sebelum lulus, Ali Mustafa memutuskan untuk keluar dari SMP. Selanjutnya, ayahnya membawa ia ke Jombang untuk dipesantrenkan di sana.
Pada 1996, Ali Mustafa berlabuh di Pesantren Seblak. Di sana ia kembali mengulang pendidikan dari tingkat 1 Tsanawiyah. Barulah pada 1969 ia melanjutkan pendidikan tingkat Aliyah di Pesantren Tebuireng.
Santri Kiai Idris Kamali ini kemudian melanjutkan pendidikan sarjana muda di Insititut Keislaman Hasyim Asyari (IKAHA) Tebuireng. Belumlah selesai merampungkan kuliahnya di IKAHA, pada 1976 Ali Mustafa mendapatkan panggilan untuk melanjutkan studi di Fakultas Syairah, Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia.
Pasca lulus dari Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Ali Mustafa melanjutkan pendidikan di Universitas King Saud, Departemen Studi Islam Jurusan Tafsir dan Hadis dan lulus dengan gelar Master pada 1985.
Ali Mustafa berhasil meraih gelar Profesor sebelum gelar doktornya. Pada 1998, ia memperoleh gelar Guru Besar atau Profesor dari Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta. Pasca mendirikan Pondok Pesantren Darus-Sunnah.
Atas saran gurunya, Prof. Dr. Muhammad Hasan Hitou, mantan Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Riyadh ini melanjutkan pendidikan doktoralnya di Universitas Nizamia, Hyderabad, India pada tahun 2005.
Selanjutnya pada 2008, barulah suami dari Ulfah Uswatun Hasanah ini merampungkan disertasinya yang berjudul Ma’ayir al-Halal wa al-Haram fi al-Ath’imah wa al-Asyribah wa al-Adawiyyah wa al-Mustahdharat al-Tajmiliyyah ‘ala Dhau’ al-Kitab wa al-Sunnah (Kriteria Halal-Haram untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut al-Qur’an dan Hadis).
Khadimun Nabi
Ketertarikan Kiai Ali Mustafa pada ilmu hadis telah muncul saat mondok di Pesantren Tebuireng, Jombang.
Kiai Ali Mustafa belajar langsung dari Kiai Syansuri, murid Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari yang memegang sanad kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Dari Kiai Syansuri lah Kiai Ali mendapatkan sanad Shahih Bukhari yang bersambung hingga Imam Al-Bukhari.
Kecintaan Kiai Ali pada sunah Nabi Saw senantiasa ditampakkannya dalam kehidupan sehari-harinya. Tak hanya itu, dengan niat berkhidmah pada Nabi Muhammad Saw, Kiai Ali berhasil mendirikan Darus-Sunnah, Pondok Pesantren untuk mahasiswa yang pembelajarannya difokuskan pada kajian hadis dan ilmu hadis.
Saat mengajar, di hadapan santri-santrinya, Kiai Ali seringkali mengatakan, “Seandainya saya hidup pada zaman Nabi Saw, maka saya ingin menjadi pelayan beliau sehari-hari.”
Sosok Anas bin Malik selalu membuat Kiai Ali cemburu, sebab sahabat mulia itu menjadi pelayan dan sekretaris Nabi Muhammad Saw selama 10 tahun.
Baca: 29 Januari 661: Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin Berakhir
Firasat Kematian
Berita kematian Kiai Ali memang begitu mendadak. Namun sejatinya, murid Syekh Wahbah Az-Zuhaili ini telah memiliki firasat bahwa usianya tak akan lama lagi. Beliau bahkan telah menyusun sketsa dan desain pemakamannya sebelum wafat.
Saat permulaan semester, awal 2016, Kiai Ali pernah berkata di depan para santriwati, “Usiaku saat ini sudah satu tahun lebih dari usia Rasulullah Saw ketika wafat.”
Setahun sebelumnya, saat menyampaikan sambutan di acara wisuda mahasantri Darus-Sunnah angkatan 13, Kiai Ali berkata;
“Rasulullah wafat (pada usia) 63, kami sudah 64 tahun. Artinya apa, Rasulullah di akhir hayatnya sering mengatakan begini ‘Yaa ayyuhan naas, uushikum, la’alli laa alqaakum ba’da ‘aamihin haadza. (Wahai manusia sekalian, aku berwasiat pada kalian semua, mungkin saja aku tak bertemu lagi dengan kalian di tahun setelah ini). Maka saya pun sering sampaikan ‘Uushikum yaa abnaa’i ath-thalabah, la’alli an alqaakum ba’da aamihim hadza (Aku berwasiat kepada kalian wahai anak-anakku para pelajar, mungkin saja aku tak bertemu lagi dengan kalian di tahun setelah ini) sebab usia kami sudah lebih tua dari usia Rasulullah Saw (saat wafat).’
Pesan Ali Mustafa pada santrinya
Dalam pengantar Meniti Dakwah di Jalan Sunnah (2018), Zia Ul Haramain, putra semata wayang Kiai Ali menuliskan, "Perhatian beliau (Kyai Ali) terhadap para santri sama besarnya dengan perhatian beliau pada keluarga. Maka tak heran jika beliau kerap memanggil anak didiknya dengan panggilan 'Yaa-ibni' (Wahai Anakku)."
Kiai Ali tak hanya menyampaikan ilmu, di sela-sela pembelajaran beliau juga senantiasa memberikan nasihat.
Ada banyak sekali pesan yang diucapkannya, dua diantaranya paling sering diulang-ulang, yakni;
“Wa Laa tamuutunna illa wa antum kaatibun”. Janganlah kalian meninggal sebelum menulis, dan “Anaa abuukum, wa antum abnaa’i jamii’an, Istaqim fi ad-diroosah wa shalaati al-jama’ah.” Saya adalah bapak kalian, dan kalian semua adalah anak-anakku, istiqamahlah dalam pembelajaran dan salat jema’ah.
(SBH)