Siapa Tentara Arakan, Penindas Baru Muslim Myanmar

Oase.id - Nasib tragis Muslim Rohingya kembali menjadi sorotan. Setelah lama hidup di bawah penindasan militer Myanmar, kini mereka menghadapi tekanan baru dari Tentara Arakan, sebuah kelompok bersenjata etnis Rakhine yang awalnya dijanjikan sebagai alternatif dari pemerintahan militer yang brutal.
Dalam laporan terbarunya, organisasi hak asasi manusia Human Rights Watch (HRW) menyebut Tentara Arakan melakukan berbagai pelanggaran terhadap etnis Rohingya. Kelompok ini disebut memberlakukan pembatasan ketat, termasuk melarang bekerja, bertani, atau berpindah tempat tanpa izin. Bahkan, warga dilaporkan mengalami kelaparan, kerja paksa, pemerasan, dan penahanan sewenang-wenang.
Siapa tentara Arakan?
Tentara Arakan adalah kelompok etnis bersenjata yang beroperasi di Negara Bagian Rakhine, wilayah barat Myanmar. Mereka dulunya dianggap sebagai kekuatan perlawanan terhadap junta militer Myanmar. Namun, sejak berhasil merebut sejumlah wilayah dari militer pada akhir 2023, kelompok ini justru dituduh memperlakukan Rohingya dengan cara yang tak kalah kejam.
“Kebijakan Tentara Arakan terhadap Rohingya ternyata mirip dengan apa yang dilakukan militer Myanmar selama ini,” kata Elaine Pearson, Direktur Asia di Human Rights Watch.
Janji pemerintahan adil, tapi nyatanya diskriminatif
Meski mengklaim akan membentuk pemerintahan yang inklusif dan adil, kenyataan di lapangan berbeda. Sejumlah warga Rohingya yang berhasil melarikan diri ke Bangladesh mengatakan bahwa hidup di bawah kekuasaan Tentara Arakan sangat membatasi. Mereka dilarang beraktivitas, kekurangan makanan, dan harus membayar mahal hanya untuk sekadar bepergian ke desa lain.
“Untuk bepergian saja harus bayar 3.000 sampai 5.000 kyat (sekitar Rp35.000 hingga Rp60.000), dan izinnya cuma berlaku satu hari,” kata seorang pengungsi. “Kalau keluar rumah saat jam malam, bisa langsung ditangkap, dan kadang tidak pernah diketahui lagi keberadaannya.”
Penindasan lewat pemerasan dan perekrutan paksa
Ladang, rumah, hingga kuburan warga Rohingya disebut telah disita oleh Tentara Arakan. Beberapa warga mengatakan mereka bahkan diminta mengganti lahan kuburan dengan sawah. Situasi ekonomi memburuk karena tidak ada pekerjaan tetap dan bantuan kemanusiaan yang diblokade sejak akhir tahun lalu. Banyak warga yang terpaksa mengemis atau bekerja sebagai buruh dengan upah yang tak sebanding—bahkan ada yang tak dibayar sama sekali.
“Awalnya mereka memberi upah setengah dari biasa, lalu berhenti membayar sama sekali,” kata seorang pengungsi berusia 60-an tahun.
Yang paling mengkhawatirkan, menurut laporan HRW, adalah praktik perekrutan paksa terhadap anak-anak muda Rohingya. Sejumlah keluarga mengaku terpaksa menyembunyikan anak laki-lakinya agar tidak dibawa paksa oleh Tentara Arakan. Seorang pria menceritakan bahwa anaknya, yang baru berusia 17 tahun, harus bersembunyi di beberapa desa selama dua bulan. Namun akhirnya menghilang dan tak diketahui keberadaannya hingga kini.
“Akhirnya saya yang ditangkap dan ditahan selama lebih dari sebulan, karena mereka tidak bisa menemukan anak saya,” kata pria tersebut.
Terjebak di tengah konflik
Konflik di Negara Bagian Rakhine semakin rumit dengan keterlibatan kelompok bersenjata lain, seperti Tentara Penyelamatan Rohingya Arakan (ARSA), yang sempat bertempur bersama militer Myanmar pada 2024 namun kini kembali bentrok dengan Tentara Arakan. Situasi ini membuat warga Rohingya, yang mayoritas Muslim, semakin terjepit di antara dua kekuatan bersenjata yang saling bertikai.
Sejak akhir 2023, lebih dari 400.000 orang dilaporkan telah mengungsi dari wilayah Rakhine dan Chin, sementara sekitar 200.000 orang lainnya mencari perlindungan ke Bangladesh.(hrworg)
(ACF)