Ketika Islam Melarang Mencela Makanan
Oase.id - Makanan merupakan kebutuhan paling pokok bagi manusia untuk melanggengkan kehidupan. Secara alamiah, tubuh manusia akan tersiksa bila tak diasupi makanan dalam waktu tertentu. Semakin lama seseorang tidak mengonsumsi makanan, fungsi dan kekuatan fisik akan semakin terganggu.
Syariat memberi petunjuk bahwa apa yang dimakan seseorang, itu adalah sebentuk rezeki yang Allah Ta'ala berikan. Dan sesungguhnya, makanan (juga minuman) yang dimiliki, sudah cukup bagi seseorang untuk dikatakan hampir memiliki seluruh dunia di dirinya.
Dari ’Ubaidillah bin Mihshan Al Anshary dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (HR. Tirmidzi no. 2346, Ibnu Majah no. 4141. Abu ’Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib).
Makanan menjadi salah satu nikmat paling besar, yang Allah berikan disamping rasa aman dan kesehatan badan. Betapa banyak orang dengan harta berlimpah, namun sulit makan karena sakit.
Dengan itu, seseorang diajarkan untuk menghargai makanan dan tidak mencelanya. Rasulullah ﷺ mengajarkan bagaimana seseorang bersikap ketika menghadapi makanan, terutama yang tidak disukai.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan sekali pun. Apabila beliau berselera (suka), beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, beliau pun meninggalkannya (tidak memakannya).” (HR. Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064)
Ibnu Baththol rahimahullah menjelaskan bahwa jika seesorang mencela makanan yang tidak disukai, perbuatan itu seolah menunjukkan sikap menolak rijki Allah. (Syarh Al Bukhari, 18: 93).
Hikmah lain, adalah celaan kepada makanan dapat membuat seseorang yang membuatnya merasa sedih dan merasa menyesal menyajikan makanan tersebut.
Contoh mencela makanan
Sebagaimana dalam kehidupan sehari-hari, biasanya celaan terdiri dari kata-kata yang buruk dan ekspresi serta intonasi yang bermakna merendahkan, ditimbang dari budaya penutur.
Maka mencela makanan umumnya dengan mengomentari bentuknya, warnanya, teksturnya, atau menggelari rasanya dengan permisalan yang buruk. Misal, ‘bentuk makanan ini seperti ‘batu kerikil’, ‘warnanya seperti lumpur sawah, ‘ini daging atau sandal, alot sekali.” Dan semisalnya.
Adapun Rasulullah ﷺ pernah mengatakan ‘jijik’ saat dihidangkan daging dhab (semacam kadal besar yang habitatnya di gurun pasir, tidak termasuk dalam kategori mencela makanan. Rasulullah sekadar mengabarkan bahwa makanan tesebut tidak Beliau ﷺ sukai.
Hadits, Dari Khalid bin Walid (diriwayatkan): Sesungguhnya ia masuk bersama Rasulullah fdfa ke rumah Maimunah, lalu disajikan daging dhab panggang. Rasulullah menjulurkan tangannya (untuk mengambilnya). Berkatalah sebagian wanita (yang ada di rumah), Beritahukanlah kepada Rasulullah ﷺ apa yang dimakannya. Mereka lantas berkata, wahai Rasulullah ﷺ, itu adalah daging dhab. Rasulullah ﷺ menarik kembali tangannya. Aku berkata, wahai Rasulullah ﷺ, apakah binatang ini haram? Beliau menjawab, tidak, tetapi binatang ini tidak ada di tanah kaumku sehingga aku merasa jijik padanya. Khalid berkata: Aku pun mencuilnya dan memakannya sementara Rasulullah ﷺ memperhatikanku [HR. al-Bukhari no. 5537].
Hal ini seumpama dengan ketika seseorang ditanya oleh juru masak tentang makanan buatannya yang tidak dimakan, makai ia menjawab, tanpa tendensi menghina atau mencela bahwa makanan tersebut tidak dimakan karena ia tidak menyukainya atau karena sesuatu hal.
Atau ketika seseorang mengatakan ‘kurang asin’, ‘terlalu encer’, ‘kurang matang’ dan lain-lain, yang diucapkan sebagai pemberitahuan, bukan dimaksudkan untuk menghina, maka hal tersebut tidak termasuk dalam kategori celaan.
(ACF)