Mengajak Tahajud via Grup WA Berujung Pamer Ibadah

N Zaid - Media Sosial 25/02/2023
Ilustrasi. Foto Pixabay
Ilustrasi. Foto Pixabay

Oase.id - Media sosial memudahkan manusia untuk saling memberi dan menerima kabar dari mana-mana. Begitu mudahnya orang yang memiliki gadget di tangannya, untuk mengabarkan apa yang telah atau sedang dikerjakan, bahkan yang belum dikerjakan sekali pun, dan masih baru sebatas angan-angan dan rencana. 

Kita pun dengan mudah menerima beragam informasi dari orang lain. Dari yang penting sampai yang paling tidak penting. Dari yang dekat dengan keseharian, sampai yang tidak ada hubungannya dengan kita sama sekali.  

Seperti pisau bermata dua. Media sosial bisa membawa maslahat namun juga mudah sekali menggiring manusia untuk bersentuhan dengan hal-hal buruk dan kesia-siaan. Namun, yang jadi persoalan kadang batasannya menjadi samar. 

Ada kalanya seseorang berniat untuk menyebarkan kabar baik, dan mengajak orang pada kebaikan, namun secara tidak sadar, justru terjerumus ke wilayah yang sebenarnya harus dihindari dan dijauhi. 

Dalam persoalan nasihat-menasihati dan mengajak kepada kebaikan, media sosial menjadi sarana yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan tersebut. Tidak heran, berbagai konten dakwah bertebaran seperti di Youtube, Facebook, Instagram, Whatsapp dan yang lain.

Setiap orang saat ini dapat berdakwah, tidak hanya para guru-guru agama atau sarjana dan alim ulama. Orang awam pun turun ke berbagai platform untuk menyebarkan konten agama. 

Hal ini tidak jadi masalah. Sebab, Islam memang mendorong orang untuk berdakwah, sesuai dengan kemampuannya. 

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari)

Sejumlah ustaz, pun mendorong para penuntut ilmu untuk memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan konten dakwah ketimbang hanya mengakses konten-konten yang kurang bermanfaat. 

Namun, dorongan untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana mengajak kepada kebaikan, juga diiringi dengan peringatan agar seseorang tidak terjerumus kepada sifat riya, atau pamer. Karena bila itu yang berlaku, maka niat baik itu menjadi tidak bernilai pahala dan justru mendapat dosa. 

Contoh yang kerap ditemui dalam keseharian, adalah, seseorang mengajak orang lain untuk melakukan salat tahajud, pada waktu-waktu tahajud dengan pesan seperti di  grup Whatsapp. 

"Let's Tahajud. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu) dan bacaan di waktu itu lebih terkesan".

Pesan itu dikirim pada pukul dua, atau tiga dini hari. Tentulah, pesan yang terasa sia-sia, karena di waktu seperti itu tentu tidak akan ada yang melihat, kecuali memang mereka yang sedang bangun malam untuk salat tahajud. Atau, baru bisa dilihat pada pagi harinya, ketika anggota grup sudah bangun. 

Atau dengan redaksi lain, seseorang memposting status. "Allahmadulillah, rasanya senang banget bisa sujud di sepertiga malam." 
 
Ustaz M Abduh Tuasikal menjelaskan bahwa menjadi pelopor kebaikan itu baik, namun ada catatan yang harus diperhatikan, bahwa seseorang jangan sampai jatuh kepada riya, dengan amalannya itu.

"Sebagian orang kalau sudah bangun setelah salat tahajud, kemudian dia tulis status "alhamdulillah sudah salat tahajud."

Hal semacam itu bisa masuk kategori riya, bukan pelopor kebaikan, terang Ustaz.

Sebelum mengajak orang lain untuk bangun tahajud dengan status atau postingan di media sosial, ada baiknya kisah di bawah ini menjadi bahan renungan.

Sahabat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, Tamim Ad-Dari pernah ditanya oleh seseorang, "Bagaimana salat malam engkau?" ditanya seperti itu Tamim sangat marah dan berkata,"Demi Allah, satu rakaat saja salatku di tengah malam tanpa diketahui (orang lain), lebih aku sukai daripada aku salat semalam penuh kemudian aku ceritakan pada manusia." (Dinukil dari buku Berjihad Melawan Riya dan Ujub yang ditulis Ustaz Firanda Andirja Abidin LC.,M.A. dari kitab az-zuhud, Imam Ahmad).

"Lihatlah Tamim Ad-Dari tidak membuka pintu yang bisa mengantarkannya terjatuh dalam riya, sehingga dia tidak mau menjawab orang yang bertanya tentang ibadahnya. Namun, sebaliknya, sebagian kaum muslimin saat ini justru menjadikan kesempatan pertanyaan itu untuk bisa menceritakan seluruh ibadah, bahkan menanti untuk ditanya tentang ibadahnya, atau dakwahnya, atau perkara lainnya," terang Ustaz Firanda.


(ACF)
TAGs:
Posted by Achmad Firdaus