Jual Barang Wakaf Yang Rusak, Bagaimana Hukumnya?
Oase.id - Barang wakaf seperti tikar, genteng, sajadah, speaker, dan lain-lain termasuk inventaris yang diwakafkan untuk masjid wajib dijaga kelestariannya. Barang wakaf tersebut merupakan amanat yang wajib dijaga dengan sebaik-baiknya.
Namun demikian, kenyataannya kerusakan tidak bisa dihindari. Kerusakan bisa terjadi karena faktor umur, rapuh, dan lain-lain. Banyak barang hanya disimpan di gudang tanpa dimanfaatkan, padahal maksud dari wakaf adalah agar barangnya dimanfaatkan.
Bagaimana hukum menjualnya? Menurut pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Islamic Study Center (ISC) Aswaja Lintang Songo, KH Heri Kuswanto, ulama Syafi’iyyah berbeda pendapat. Pendapat pertama diberbolehkan, sedangkan pendapat kedua tidak memperbolehkan.
Diperbolehkan bila dirasa lebih maslahat untuk dijual. Misalnya alat-alat masjid yang telah lapuk dimakan usia, andaikan dibiarkan mangkrak, tidak memiliki manfaat apa pun, hanya menjadi barang rongsok yang memenuhi gudang.
Berdasar pendapat Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, kebolehan penjualan harta wakaf ini dimaksudkan agar ia tidak tersia-sia. Namun, bisa menghasilkan uang (meski minim) dari hasil penjualan yang manfaatnya kembali kepada harta wakaf adalah lebih baik ketimbang membiarkannya sia-sia tanpa berguna.
Syekh Ibnu Hajar juga menegaskan persoalan ini termasuk pengecualiaan dari larangan menjual harta wakaf. Pendapat ini disepakati oleh dua guru besar ulama Syafi’iyyah, yaitu al-Imam al-Rafi’I, dan al-Imam al-Nawawi.
Hasil penjualan barang-barang tersebut bila memungkinkan wajib dibelikan benda yang sama. Ambil contoh misalkan tikar masjid yang rusak menumpuk banyak, setelah dijual wajib dibelikan sesama tikar meski dalam jumlah yang lebih sedikit.
“Bila tidak memungkinkan, misalnya hasil penjualan alat masjid tidak memadai untuk membeli barang yang sama, maka uang hasil penjualannya ditasarufkan untuk segala hal yang berkaitan dengan kemaslahatan masjid,” jelas KH Heri Kuswanto.
KH Heri Kuswanto juga menjelaskan bahwa dalam Fath al-Mu’in beserta Hasyiyah I’anah al-Thalibin mengatakan: “Dan uang penjualannya dialokasikan untuk kemaslahatan masjid bila tidak mungkin membeli tikar atau pelapah kurma dengannya.”
Adapun pendapat kedua tidak diperbolehkan menjual barang wakaf yang rusak. Pendapat ini lebih menekankan kepada kelestarian harta wakaf. Alat-alat masjid yang sudah rusak masih menetapi statusnya sebagai harta wakaf, akan tetapi boleh dijual bila maslahatnya hanya dijual.
(ACF)