Bijak Memaknai Hadis 'Bau Mulut Orang Puasa Lebih Wangi dari Kasturi'

Fera Rahmatun Nazilah - Ramadan 2020 27/04/2020
Photo by ChicagoHealth
Photo by ChicagoHealth

Oase.id- Telah begitu masyhur sabda Rasulullah Muhammad Saw tentang aneka keistimewaan orang-orang yang sedang berpuasa. Salah satunya, terkait bau mulut tak sedap yang sangat mungkin ditimbulkannya pun dianggap bukan sebagai suatu persoalan. 

Nabi Saw bersabda;

"Sungguh, bau mulut orang berpuasa jauh lebih wangi di sisi Allah daripada aroma minyak misik (kasturi)." (HR. Bukhari)

Bau mulut atau halitosis muncul lantaran mulut dalam keadaan kering. Kurangnya air liur menyebabkan bakteri yang biasanya bekerja di sisa-sisa makanan di antara gigi dan lapisan lidah melepaskan gas yang menimbulkan aroma tidak sedap.

Sementara minyak misik atau kerap juga disebut kasturi merupakan parfum yang paling wangi di zamannya dan sangat disukai Rasulullah Saw. 

Diriwayatkan Imam An-Nasa’i, sahabat Nabi bernama Muhamad bin Ali pernah bertanya kepada istri Rasulullah Saw, Aisyah Ra, apakah Rasulullah menggunakan wewangian? Aisyah menjawab, "Ya, dengan menggunakan misik dan anbar." 

Lantas, bagaimana cara memaknai kandungan hadis yang sekilas bertentangan antara aroma mulut tidak sedap dan minyak wewangian?

 

Majasi

Pakar ilmu hadis KH Ali Mustafa Ya'qub dalam Ath-Thuruq Ash-Shahihah fii Fahmi As-Sunnah An-Nabawiyah menjelaskan, tidak semua hadis bisa dimaknai langsung secara hakiki. Ada beberapa cara memahami hadis, salah satunya melihat makna majasi atau maksud kiasan yang bukan arti sebenarnya secara kalimat.

Termasuk tentang hadis bau mulut orang berpuasa melebihi wangi kasturi. Menurut Imam Al-Maziri, sebagaimana dikutip dalam Fathul Bari bi Syahri Shahih Al-Bukhari berpendapat, hadis tersebut bisa dimaknai dengan kebiasaan orang-orang yang senantiasa senang ketika mendekati sesuatu yang wangi.

Demikian pula mengenai mulut orang berpuasa, disebut wangi dalam rangka menunjukkan makna kedekatan orang berpuasa dengan Allah Swt.

 

Imam Ad-Daudi memaknai dari sudut pandang berbeda. Ia mengatakan maksud hadis tersebut adalah bau mulut orang berpuasa lebih mengandung banyak pahala ketimbang menggunakan minyak misik yang sunah dipakai di hari Jumat atau saat menghadiri majelis-majelis zikir. Pendapat ini, didukung Imam An-Nawawi.

Sementara Qadhi Iyadh berpendapat, aroma mulut yang lebih baik dari misik atau kasturi ini berlaku di akhirat kelak. Ulama lain juga ada yang berpandangan maksud dari hadis tersebut ialah aroma mulut dan wewangian misik menjadi penanda rida, sanjungan, serta pahala dari Allah Swt bagi umat-Nya yang telah menjalankan ibadah puasa.

Baca: 5 Cara Agar Mulut Tidak Mengeluarkan Aroma Tak Sedap saat Berpuasa

 

Menjaga kenyamanan  

Meskipun bau mulut orang yang berpuasa mendapatkan keistimewaan dari Rasulullah Saw, akan tetapi, itu tidak menggugurkan anjuran bagi setiap Muslim untuk menjaga kebersihan mulut. Hal ini, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi Saw;

 “Bersiwaklah kalian, karena sungguh siwak itu mensucikan mulut dan diridai Allah Swt." (HR. An-Nasai)

Hanya saja, mengenai boleh tidaknya membersihkan mulut saat berpuasa, terutama setelah tergelincirnya matahari, para ulama terbagi ke dalam dua golongan pendapat.

Pertama, boleh. Dengan alasan, kesunahan bersiwak tidak hilang dalam kondisi apapun. Hal ini berkaca pada hadis yang disampaikan Amir bin Rabi’ah;

“Aku pernah melihat Nabi Muhammad Saw bersiwak sedangkan ia dalam keadaan puasa hingga aku tidak bisa menghitung jumlahnya.” (HR. At-Tirmidzi)

Golongan pendapat kedua adalah makruh. Hal ini berdasarkan takut adanya zat yang tertelan, sekaligus disandarkan pada hadis tentang keistimewaan bau mulut orang yang sedang berpuasa sebagai mana dalam pembahasan di atas. 

Sementara secara lebih jelas, hukum bersiwak, yang dalam kondisi sekarang boleh disetarakan dengan penggunaan sikat dan pasta gigi, cukup relevan jika disandarkan pada penjelasan Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab; 

"Jika ada orang yang memakai siwak basah. Kemudian airnya pisah dari siwak yang ia gunakan, atau cabang-cabang (bulu serabut) kayunya itu lepas kemudian tertelan, maka puasanya batal tanpa ada perbedaan pendapat ulama. Demikian dijelaskan oleh Al-Faurani dan lainnya."

Dengan demikian, berpuasa tidak menghalangi seseorang untuk selalu menjaga kebersihan tubuh, terlebih mulut. Hal ini, juga selaras dengan semangat Islam yang menganjurkan umatnya untuk berlaku bersih, dan menghargai keberadaan orang lain.

 

Sumber: Disarikan dari keterangan dalam Fathul Bari bi Syarhi Shahih Al-Bukhari karya Ibnu Hajar Al-Atsqalani, Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari karya Imam Badruddin Abi Muhammad Mahmud bin Ahmad Al-Aini, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya  Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf An-Nawawi, serta penjelasan dalam  Ath-Thuruq Ash-Shahihah fii Fahmi As-Sunnah An-Nabawiyah karya KH Ali Mustafa Ya'qub.


(SBH)
TAGs:
Posted by Sobih AW Adnan