Kesaksian KH Saifuddin Zuhri dalam Pembentukan PWI 1946: Wartawan Itu Semut

Sobih AW Adnan - Tokoh dan Ulama Hari Pers Nasional 09/02/2020
Prof. K.H. Saifuddin Zuhri. FOTO/NU Online/Dok. Perpustakaan PBNU
Prof. K.H. Saifuddin Zuhri. FOTO/NU Online/Dok. Perpustakaan PBNU

Oase.id- Sejarah pembentukan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1946 menjadi rujukan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang dirayakan setiap 9 Februari. Peristiwa yang juga menjadi penguat bersatunya seluruh elemen bangsa dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia itu pun diselimuti berbagai potret emosional.

KH Saifuddin Zuhri, dalam Berangkat dari Pesantren (2013) menceritakan, kongres yang melibatkan banyak tokoh dan penggiat media itu sempat berlangsung menegangkan.

"Peristiwa itu berjalan dengan amat meriah, seru, dan berkobar-kobar penuh pertentangan," tulis Saifuddin.

Kala itu, Saifuddin memang sedang berjeda menjadi wartawan. Hanya saja, kehadirannya tersebut lebih didorong ketertarikan terhadap hal-hal yang bersifat revolusioner yang dilontarkan para sahabat lawasnya.

 

Perjuangan jurnalis

Ide pelaksanaan Kongres Wartawan di Solo itu muncul ketika kalangan wartawan mencium kabar bahwa Perdana Menteri (PM) Syahrir hendak berunding dengan Pemerintah Kolonial Belanda yang diwakili Hubertus Johannes van Mook. 

"Hidung kaum wartawan yang biasanya tajam itu juga mencium move politik van Mook bahwa Indonesia bakal dijadikan sebuah negara dalam Commonwealth, dalam lingkungan kerajaan Belanda," tulis dia.

Risikonya, tulis Saifuddin, Republik Indonesia yang berbentuk kesatuan akan berganti menjadi bentuk federal. Adapun urusan luar negeri dan pertahanan akan menjadi kewenangan Belanda.

Kalangan wartawan menganggap hal ini sebagai perkara genting. Kabar yang berhasil diendus beberapa hari sebelum perundingan Syahrir van Mook itu pun secara cepat beredar ke masyarakat.

"Wartawan tak ubahnya kawanan semut, di mana seekor semut yang menemukan sejumput gula pasir cukup untuk memobilisasi semua semut dalam satu sarang," tulis Saifuddin.

 

Kala itu, menurut kesaksian sosok yang kemudian menjabat Menteri Agama RI di 5 kabinet era Presiden Sukarno tersebut, kaum wartawan juga banyak yang menjadi aktivis partai politik.

Ada yang menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang mendukung Amir Syarifuddin-Syahrir dengan kecenderungannya condong pada gaya dipolomasi kooperatif, ada pula yang melakukan politik oposisi bersama golongan Tan Malaka.

"Oleh karena kaum wartawan sendiri terdiri dari dua kubu yang saling bertentangan, tidaklah mengherankan jika masyarakat terpecah menjadi golongan pro dan kontra Syahrir-Amir," tulis dia.

 

Siapa Saifuddin?

Saifuddin Zuhri merupakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang sangat berpengaruh di masanya. Di bidang kewartawanan, ia pernah menjadi koresponden Kantor Berita Antara, Pemimpin Redaksi Duta Masyarakat, dan beberapa majalah lainnya.

Masih dalam buku yang sama, Saifuddin juga merekam pengangkatannya untuk duduk di kabinet Sukarno lantaran sepak terjangnya di dunia pewarta.

"Penunjukan Saudara sudah saya pikir masak-masak. Telah cukup lama saya pertimbangkan. Sudah lama saya ikuti sepak terjang Saudara sebagai wartawan, politisi, dan pejuang. Saya dekatkan Saudara menjadi anggota DPA. Saya bertambah simpati. Baru-baru ini Saudara saya ajak keliling dunia, dari Jakarta ke Beograd, Washington, lalu Tokyo. Saya semakin mantap memilih Saudara sebagai Menteri Agama,” ujar Bung Karno, dikutip Saifuddin.

Saifuddin Zuhri lahir di Banyumas, 1 Oktober 1919 dan wafat pada 25 Maret 1986 di usia 66 tahun. Berangkat dari Pesantren adalah satu dari sekian banyak karyanya yang baru rampung ditulis jelang akhir hayat. 

Saifuddin Zuhri, kelak memiliki salah satu putra yang juga menjabat sebagai Menteri Agama RI di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Joko Widodo periode pertama, yakni Lukman Hakim Saifuddin.


(SBH)
Posted by Sobih AW Adnan