Nabi Melarang Memuji Ibadah Seseorang: Memotong Leher Temanmu!
Oase.id - Kadang kala kita melihat seseorang beribadah dengan sangat tekun dan bersemangat. Apalagi ibadah itu dilakukan dengan sangat baik sehingga mengundang kekaguman orang lain, seperti bacaan Al-Quran yang merdu, hafalan yang kuat dan lain sebagainya. Melihat hal itu kita kerap terdorong untuk mengekspresikan kekaguman itu di depan orang tersebut sehingga keluarlah kata-kata pujian terhadapnya. Padahal memuji orang terutama terkait ibadahnya, tidak boleh dilakukan.
Sejumlah hadits Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam menerangkan bahwa memuji orang itu perbuatan yang terlarang.
Berikut haditsnya:
“Celaka engkau, engkau telah memotong leher temanmu (berulang kali beliau mengucapkan perkataan itu). Jika salah seorang di antara kalian terpaksa/harus memuji, maka ucapkanlah, ‘Sebatas yang saya tahu si fulan demikian kondisinya.’ Jika dia menganggap seseorang yang dipuji itu demikian adanya. Ada pun yang mengetahui kondisi sebenarnya adalah Allah dan janganlah menyucikan seseorang di hadapan Allah.” (H.R. Bukhari)
Hadits lain: “Jika Engkau melihat orang yang memuji, maka taburkanlah debu di wajahnya.” (HR. Muslim no. 3002)
Namun, demikian bukan berarti larangan memuji ini mutlak sepenuhnya. Larangan ini adalah untuk pujian yang sifatnya berlebihan dan pujian yang bila dialamatkan, bisa membuat seseorang tidak selamat dari sifat riya, udzub dan merasa sudah saleh sehingga membuatnya malas beribadah atau menuntut ilmu.
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam pun pernah memuji sejumlah sahabat. Seperti yang teradapat dalam hadits:
Diriwayatkan dari ‘Amir bin Sa’d, beliau mengatakan,
“Aku mendengar ayahku berkata, “Aku belum pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seseorang yang berjalan di muka bumi ini bahwa dia adalah calon penghuni surga kecuali kepada ‘Abdullah bin Salam.” (HR. Bukhari no. 3812 dan Muslim no. 2483)
An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata ketika menjelaskan kompromi dua jenis hadits di atas,
“Terdapat banyak hadits dalam shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) tentang (bolehnya) memuji orang lain di hadapannya. Para ulama mengatakan, metode untuk mengkompromikan hadits-hadits di atas adalah bahwa hadits yang melarang itu dimaksudkan untuk orang yang berlebihan (serampangan) dalam memuji, atau pujian yang lebih dari sifat yang sebenarnya, atau pujian yang ditujukan kepada orang yang dikhawatirkan tertimpa fitnah berupa ujub dan semacamnya ketika dia mendengar pujian kepada dirinya."
Menurut Ustaz Firanda Andirja, pujian bisa membuka pintu riya bagi orang yang dipuji.
"Pujian bisa membuat orang berubah dari ikhlas menjadi riya, dari tawadhu menjadi uzub sombong," kata Ustaz Firanda Andirja, dalam sebuah video kajian yang diunggah di Youtube.
"Misal (pujian itu berdasarkan) niat baik karena kita kagum. Itu cukup membuka pintu ria pada diri orang yang dipuji," papar Ustaz Firanda.
Ada pun orang yang dikhawatirkan tidak tertimpa fitnah tersebut, baik karena bagusnya ketakwaannya dan kokohnya akal dan ilmunya, maka tidak ada larangan memuji di hadapannya, itu pun jika pujian tersebut tidak pujian yang serampangan. Bahkan jika pujian tersebut menimbulkan adanya maslahat, misalnya semakin semangatnya dia untuk berbuat kebaikan dan meningkatkan kebaikan, atau kontinyu dalam berbuat baik (misalnya pujian yang ditujukan kepada anak-anak, pent.), supaya orang lain pun meneladani orang yang dipuji tersebut, maka (jika ada maslahat semacam ini) hukumnya dianjurkan.” (Syarh Shahih Muslim, 9: 382)
(ACF)