Ketika Rasulullah Salallahu alaihi Wassalam Mengultimatum Istri-Istrinya
Oase.id - Nabi Muhammad salallahu alaihi wassalam adalah sosok suami ideal. Beliau memiliki kelembutan juga kesabaran dalam menghadapi istri-istrinya. Bahkan ketika Beliau mendapati istrinya meluapkan emosi di tempat dan waktu yang tidak tepat, yaitu ketika Nabi ﷺ tengah bersama para sahabatnya.
Hal itu tergambar seperti dalam sebuah riwayat di mana Aisyah menumpahkan nampan makanan yang dibawa dari istri nabi lainnya, Hafsah, ketika Nabi ﷺ dengan para sahabat sedang duduk-duduk. Aisyah terbakar cemburu hingga melakukan tindakan itu.
Sahabat Anas bin Malik menceritakan; “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berada di rumah salah seorang istrinya, ” Anas berkata; “Menurutku adalah Aisyah.” Lalu Salah seorang istri beliau yang lain mengirimkan sepiring makanan yang diantar oleh utusannya, namun istri yang bersama beliau membuang piring yang berada di tangan utusan sehingga pecah terbelah menjadi dua. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan: غَارَتْ أُمُّكُمْ “(Ibu kalian sedang cemburu)” Lalu beliau menyatukan dua pecahan piring tersebut dan meletakkan makanannya di atasnya seraya bersabda: “Makanlah oleh kalian!” maka para sahabat pun memakannya. Sementara beliau tetap memegang piring yang pecah tersebut hingga mereka selesai memakan makanannya, lalu diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebuah piring yang lain, lalu beliau pun tinggalkan yang pecah.” (HR. Ahmad)
Dari riwayat ini bisa dibayangkan bagaimana situasi yang terjadi. Manusia umumnya akan beraksi dengan kemarahan karena hal itu bisa sangat memalukan, karena dilakukan di depan tamu, apalagi bagi orang yang memiliki kedudukan tinggi di masyarakat. Namun, Rasulullah ﷺ menyikapinya dengan penuh kesabaran.
Namun, sebagai suami bukan berarti Rasulullah selalu mengedepankan sisi kelemahlembutan dalam setiap situasi. Dalam keadaan yang membutuhkan sikap sebagai seorang pemimpin rumah tangga, Rasulullah ﷺ akan berlaku tegas. Tarbiyah terhadap pasangan hanya akan berhasil bila menerapkan sikap lapang dada pada satu sisi, dan marah pada sisi lain, jika diperlukan.
Kemarahan dalam hal ini tentu tetap turun dengan adab yang baik, dan tidak berlebih-lebihan meluapkannya apalagi dengan melampiaskan nafsu.
Satu ayat Allah turunkan terkait perlunya Rasulullah bersikap tegas terhadap istri-istrinya. Itu terjadi manakala istri-istri Nabi ﷺ dianggap terlalu banyak menuntut terlalu banyaknya nafkah dan perhiasan. Karena itu, Nabi ﷺ menunjukkan kemarahannya yang halus dengan bertekad untuk tidak mendekati mereka (para istri) selama sebulan. Itu dilakukan sebagai pelajaran bagi mereka.
Allah subhanahu wa ta'ala kemudian menurunkan ayat untuk mengultimatum mereka antara memilih hidup dengan Rasulullah ﷺ dengan cara hidup beliau serta bersabar bersamanya atau mereka kembali kepada keluarganya masing-masing.
"Hai Nabi, ketakanlah kepada istri-istrimu, 'Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhisannya, maka marilah supaya aku berikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan RasulNya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa saja yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar." (QS. al-Ahzab:28-29).
Seperti yang ditulis dalam buku 'Mereka Adalah Para Shahabiyat: Kisah-kisah wanita menakjubkan belum Pernah Tertandingi Hingga Hari Ini', setelah mendapat ultimatum ini, para istri Nabi ﷺ akhirnya kembali bersama Nabi ﷺ.
(ACF)