Cacat dalam Pernikahan Menurut Fikih: Kapan Akad Boleh Dibatalkan?
Oase.id - Islam memandang pernikahan sebagai ikatan suci yang dibangun di atas cinta, kasih sayang, dan tujuan menjaga keturunan. Melalui pernikahan, diharapkan terwujud ketenteraman, kenikmatan batin, serta keberlangsungan rumah tangga yang sehat. Namun dalam kenyataan, tidak jarang ditemukan kondisi tertentu—baik fisik maupun mental—yang justru menghalangi tercapainya tujuan mulia tersebut. Karena itu, syariat Islam memberikan solusi yang adil dengan membuka ruang khiyār (hak memilih untuk melanjutkan atau membatalkan akad) apabila ditemukan cacat tertentu setelah pernikahan berlangsung.
Dalam kitab Matan Taqrīb, Al-Qāḍī Abū Syuja‘ menjelaskan adanya cacat-cacat yang secara fikih dapat menjadi alasan pembatalan akad nikah. Ia menyebutkan bahwa perempuan dapat dikembalikan (ditolak kelanjutan pernikahannya) karena lima cacat, demikian pula laki-laki dengan lima cacat tertentu.
Perempuan, menurut beliau, memiliki lima cacat yang berimplikasi pada hak khiyār, yaitu: gangguan jiwa (gila), penyakit kusta, penyakit belang atau vitiligo (barash), tertutupnya jalan kemaluan (ratq), serta kelainan pada vagina berupa tulang atau daging yang menghalangi hubungan intim (qarn).
Adapun pada laki-laki, lima cacat yang juga memberi hak khiyār adalah: gila, kusta, belang, terpotong atau hilangnya fungsi alat kelamin (jabb), dan impotensi permanen (‘innah).
Mengapa Cacat Ini Berpengaruh?
Para ulama menegaskan bahwa tujuan utama pernikahan adalah tercapainya istimtā‘ (kenikmatan hubungan suami-istri) dan keberlangsungan rumah tangga. Sebagian cacat di atas secara langsung menutup pintu hubungan biologis. Kebiri (al-jabb) dan impotensi (‘innah), misalnya, membuat laki-laki tidak mampu melakukan hubungan seksual. Begitu pula ratq dan qarn pada perempuan yang secara fisik menghalangi terjadinya hubungan intim.
Sementara itu, cacat seperti gila, kusta, dan belang, meskipun tidak selalu menghalangi secara fisik, sering kali menimbulkan rasa tidak nyaman, jijik, atau penolakan psikologis yang merusak keharmonisan dan kesempurnaan kenikmatan pernikahan. Atas dasar inilah syariat memberikan hak khiyār, agar pernikahan tidak menjadi sumber mudarat berkepanjangan. Prinsip ini sejalan dengan kaidah besar Islam: lā ḍarar wa lā ḍirār—tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh saling membahayakan.
Landasan dari Sunnah Nabi ﷺ
Ketentuan ini memiliki dasar kuat dalam Sunnah. Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah menikahi seorang perempuan dari kabilah Ghifār. Ketika beliau mendapati adanya bercak putih di sisi tubuh perempuan tersebut—yang menunjukkan penyakit belang—Rasulullah ﷺ bersabda, “Pakailah pakaianmu dan kembalilah kepada keluargamu.” Beliau bahkan menegur wali pihak perempuan karena dianggap menyembunyikan aib tersebut.
Riwayat lain dari Ibnu ‘Umar menyebutkan sabda Nabi ﷺ bahwa apabila seorang lelaki menikahi perempuan yang ternyata mengidap gila, kusta, atau belang, lalu ia telah menyentuhnya, maka perempuan tersebut tetap berhak atas mahar, sementara tanggung jawab dikembalikan kepada walinya.
Dari nash inilah para ulama menetapkan adanya hak khiyār pada cacat seperti belang, dan kemudian mengqiyaskan cacat-cacat lain yang serupa karena sama-sama menghalangi kesempurnaan tujuan pernikahan.
Pembagian Jenis Cacat
Secara ringkas, cacat yang dapat melahirkan hak khiyār terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, cacat yang bisa menimpa laki-laki dan perempuan, yaitu gila, kusta, dan belang. Kedua, cacat khusus laki-laki, yakni kebiri (al-jabb) dan impotensi (‘innah). Ketiga, cacat khusus perempuan, yaitu ratq dan qarn. Dengan pembagian ini, masing-masing pihak memiliki lima cacat yang berpotensi menjadi alasan pembatalan akad.
Cacat di Luar Itu
Mayoritas ulama berpendapat bahwa cacat selain yang disebutkan di atas tidak menimbulkan hak khiyār, meskipun bisa menimbulkan ketidaknyamanan. Contohnya adalah bau badan menyengat, bau mulut, istihāḍah yang terus-menerus, atau luka bernanah. Memang ada pendapat yang lebih longgar dan memberi hak khiyār karena faktor rasa jijik, namun pendapat yang kuat tidak membolehkannya.
Ada pula perincian khusus terkait sempitnya jalan kemaluan perempuan. Jika kondisi tersebut tidak wajar dan menyebabkan hubungan seksual berisiko merobek saluran antara kemaluan dan kencing (ifḍā’), sebagian ulama memberi hak khiyār bagi suami. Namun bila hubungan masih memungkinkan secara normal, maka hak tersebut tidak berlaku.
Adapun kemandulan pada suami atau istri, maupun kondisi ifḍā’ yang telah terjadi, menurut mayoritas ulama, tidak termasuk alasan pembatalan akad nikah.
Dengan penjelasan ini, terlihat bahwa fikih Islam menempatkan pernikahan sebagai akad timbal balik yang adil. Ia dijaga agar tetap membawa maslahat, dan pada saat yang sama diberi jalan keluar bila akad tersebut justru berubah menjadi sumber mudarat bagi salah satu pihak.(Rumaysho, Fathul Qarib, Kifayatul Akhyar)
(ACF)