Batalkah Puasa Orang yang Menjalani Rapid Test dan Swab alias PCR?
Oase.id- Dalam rangka memutus mata rantai persebaran korona (Covid-19), Pemerintah menerapkan beberapa teknik pendeteksian kesehatan dini melalui serangkaian tes kepada masyarakat, terutama bagi yang sudah berstatus 'orang dalam pemantauan' (ODP).
Setidaknya, ada 2 istilah tes yang belakangan masyhur di tengah masyarakat. Yakni, rapid test dan swab test alias Reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR).
Kedua tes ini dilakukan dengan cara mengambil sampel dari dalam tubuh seseorang untuk kemudian dilakukan analisa secara mendalam melalui bahan dan alat-alat yang cukup canggih di bidangnya.
Rapid test dan swab test alias RT-PCR yang dimulai sejak pertengahan Maret lalu ini, bisa jadi akan terus digencarkan hingga memasuki bulan suci Ramadan beberapa pekan mendatang.
Lantas, batalkah puasa seseorang yang menjalani rapid test atau swab test?
Teknik pemeriksaan
Mengutip laman Medcom.id, rapid test atau dalam bahasa Indonesia layak disebut tes praktis merupakan diagnosa antibodi berbasis data menggunakan sampel darah.
Baca: Keumuman Mengandung Alkohol, Sahkah Salat Setelah Memakai Hand Sanitizer?
Cara kerja Rapid test dilakukan dengan menggunakan alat kit untuk mengambil sampel, kemudian dilanjurkan dengan proses screening (pemeriksaan) lebih lanjut.
Sementara RT-PCR adalah tes yang dilakukan dengan cara membalik virus menjadi DNA. Pemeriksaan RT-PCR biasanya dilakukan dengan mengambil cairan tubuh yang paling banyak berpotensi mengandung virus.
Caranya, bisa dengan memakai alat khusus yang dimasukkan ke hidung, akan tetapi, bahkan yang lebih bagus, boleh juga sekadar dengan menggunakan sampel dahak.
Hasil rapid test bisa diketahui secara klinis biasanya dalam waktu cukup panjang, yakni selama 7 hari. Sementara hasil swab test alias RT-PCR bisa diketahui secara cepat, bahkan real time.
Tinjauan fikih
Dalam Fath Al-Qarib dijelaskan, hal-hal yang bisa membatalkan puasa adalah masuknya zat atau sesuatu ke dalam tubuh melalui beberapa lubang organ secara disengaja, mengobati atau berobat dengan cara memasukkan benda ke dalam tubuh, muntah dengan sengaja, berhubungan seksual, keluarnya sperma dengan sebab bersentuhan kulit, keluar haid atau pun nifas, gangguan jiwa alias gila, dan murtad atau menyatakan keluar dari agama Islam.
Pembahasan mengenai rapid test atau swab test amat berhubungan dengan hal yang berpotensi membatalkan puasa berupa proses pengobatan dengan cara memasukkan sesuatu atau benda ke dalam tubuh.
Ibnu Abbas dan Ikrimah, sebagaimana tercantum pada pembukaan bab Al-Hijamah wal Qai' li Ash-Shaim dalam Fathul Bari bi Syarhi Shahih Al-Bukhari menyatakan, puasa bisa menjadi batal dengan sebab adanya sesuatu yang masuk (ke dalam tubuh), bukan karena sesuatu yang keluar (dari tubuh).
Sementara menurut pendapat Imam Syafi'i, sebagaimana tercantum dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu mengatakan, tidaklah membatalkan puasa mengeluarkan darah (karena merobek otot). Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di dalamnya dan tidak pula (membatalkan puasa) karena berbekam.
Pendapat Imam Syafii tersebut dilengkapi dengan mengutip kisah Rasulullah Muhammad Saw yang pernah berbekam saat berpuasa dan berihram.
Baca: Membatalkan Puasa Sunah karena Ditawari Hidangan oleh Tuan Rumah, Bolehkah?
Lebih jelas lagi, Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, melukai diri atau dilukai orang lain yang diizinkan, tidak membatalkan puasa. Dengan catatan, tak ada zat apapun yang masuk ke dalam tubuh.
Tidak pula membatalkan puasa orang yang mengeluarkan darah akibat mimisan, melukai diri atau dilukai orang lain atas seizinnya. Serta tidak ada sesuatu apapun yang masuk ke lubang tubuhnya dari alat untuk melukai tersebut, meskipun luka itu sebagai ganti dari bekam. Sebab, tidak ada nash mengenai itu dan qiyas tidak menututnya.
Alhasil, selama tidak mengakibatkan masuknya sesuatu ke dalam tubuh, maka mengikuti rapid test atau swab test tidak membatalkan puasa. Terlebih, kedua tes ini dilakukan demi kemaslahatan yang dapat dibenarkan menurut sudut pandang syariat.
(SBH)