Memaknai Hadis Tentang Tidak Adanya Penyakit Menular
Oase.id- Ada banyak hadis Nabi Muhammad Saw yang menjelaskan anjuran dan sikap terhadap wabah atau penyakit menular. Yang paling masyhur adalah instruksi Rasulullah kepada umatnya agar tidak memasuki sebuah wilayah yang sedang terserang wabah. Begitu pun sebaliknya, orang-orang yang berada di daerah tersebut, tidak disarankan untuk keluar demi mencegah persebaran penyakit yang memungkinkan kian parah.
Ada juga riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw menganjurkan seseorang untuk menghindari pengidap penyakit menular;
"Larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari singa." (HR. Bukhari Muslim)
Akan tetapi, ada satu sudut pandang lain dalam hadis Nabi Saw yang menyatakan bahwa sejatinya, tidak ada penyakit menular, kecuali atas kehendak dan takdir Allah Swt.
Rasulullah Saw bersabda;
"Tidak ada 'adwa (Penularan penyakit), thiyarah (Menganggap sial), shafar, dan hammah.” (Muttafaqun Alaih).
Sekali waktu, Nabi Saw juga bersabda;
"Orang yang sakit tidak bisa menularkan penyakit pada orang yang sehat." (HR. Bukhari Muslim)
Lantas, bertentangankah antara hadis-hadis yang berisi anjuran Nabi untuk menghindari penularan penyakit dengan redaksi hadis lain yang menyatakan tentang ketiadaan penyakit menular?
Perantara dan antisipasi
Para ulama terdahulu telah mengupayakan jalan tengah atas kesan pertentangan dari hadis-hadis tersebut. Ijtihad ini dilakukan dengan pegangan bahwa memang sesungguhnya Allah Swt adalah Dzat Yang Maha Berkehendak. Selain itu, demi menangkal bibit keraguan akan kebenaran pesan-pesan yang disampaikan Rasulullah Saw.
Dalam Fath Al-Bari, Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani menjelaskan, penafian adanya penyakit menular dimaknai secara umum dan mutlak. Artinya, tidak ada penularan penyakit sama sekali. Sementara perintah untuk lari dari penyakit kusta atau lepra, ini sebagai bentuk sadd adz-dzari’ah, alias sebuah tindakan preventif untuk menutup celah keburukan.
Imam Al-Atsqalani berpendapat, bisa jadi ketika tidak menjauh dari penyakit menular, kemudian Allah Swt menakdirkan terkena penyakit yang sama, maka timbullah keyakinan bahwa ada penyakit menular. Sehingga untuk mencegah timbulnya keyakinan ini, diperintahkan untuk menjauh dari penyakit menular. Oleh karena itu, semestinya tidak lazim mengatakan bahwa Si A telah tertular penyakit Si B.
Baca: Umar bin Khattab: Wabah Adalah Takdir, dan Menghindarinya Juga Takdir
Penjelasan ini muncul berdasarkan pertimbangan fakta bahwa orang Arab pra-Islam kerap meyakini bahwa penyakit bisa menular dengan sendirinya dengan sama sekali tidak melihat peran dan kuasa Allah.
Demi menghapus keyakinan itu, Imam Al-Baihaqi pun menceritakan bahwa Nabi Saw pernah mencontohkan tetap bersalaman dan makan bersama penderita kusta. Akan tetapi, hadis tentang menjauhi penderita penyakit atau menghindari daerah terdampak adalah sebagai suatu usaha untuk menghalau kemungkinan buruk yang terjadi dengan tanpa menafikan kekuasaan dan kehendak Allah Swt.
Selain itu, ulama lain berpendapat bahwa hadis peniadaan penyakit menular merupakan penjelasan Nabi Saw yang muncul sebagai respons tauhid. Alias sebuah penjelasan bahwa di balik musibah yang terjadi ada kuasa Allah di di dalamnya.
Hadis peniadaan penyakit menular juga merupakan sebuah redaksi yang memerlukan pemahaman secara komprehensif. Pertentangan tidak akan muncul ketika hadis tersebut dimaknai dengan penyertaan dalil dan konteks secara lebih menyeluruh.
Bahkan, salah satu ilmuan kedokteran Muslim Muhammad bin Abdullah bin Sa'id bin Abdullah bin Sa'id atau masyhur disebut Ibnu Al-Khatib menjelaskan, respons agama dan fakta lapangan di bidang terkait tidak bermakna tunggal dan tidak boleh dipertentangkan.
Dalam Muqni’at Al-Sa’il ‘an Al-Marad Al-Ha’il, dia berkata, "Kepada orang yang berkata, 'Bagaimana kita bisa menerima kemungkinan penularan, sementara hukum agama menyangkalnya?' Kami menjawab bahwa keberadaan penularan telah dibuktikan sejumlah percobaan, penelitian, bukti-bukti indrawi, dan laporan-laporan terpercaya."
Dia mengatakan, Fakta penularan menjadi jelas bagi para peneliti yang memperhatikan bahwa seseorang yang menjalin kontak dengan penderita maka akan menderita penyakit yang sama. Penularan bisa terjadi lewat pakaian, gelas minum, dan anting-anting.
Penjelasan rasional ini, menurut Ibnul Khatib menjadi penting ketika hendak melakukan tindak pencegahan atas suatu wabah menular. Ikhtiar dalam mengupayakan itu, kata dia, penting untuk menguatkan praktik keimanan seseorang kepada Tuhannya.
Baca: 5 Sikap Nabi Menghadapi Wabah dan Penderita Penyakit Menular
Metode
Dalam keilmuan hadis, mencari jalan keluar kesan pertentangan redaksi sabda Rasulullah Saw ini dikenal dengan ilmu Mukhtalif al-hadits.
Muhammad Ajjaj Al-Khatib dalam Ushul Al-hadits: `Ulumuhu wa Musthalahuhu menjelaskan, ilmu mukhtalif al-hadis merupakan studi yang membahas hadis-hadis yang menurut lahirnya saling berlawanan, untuk menghilangkan perlawanannya itu atau mengkompromikan keduanya, sebagaimana halnya membahas hadis-hadis yang sulit dipahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikatnya.
Dalam mengurai permasalahan pertentangan hadis, para ulama fikih setidaknya mengenalkan 3 metode, yakni nasakh, tarjih, dan al-jam’u.
Akan tetapi, kebanyakan ulama ahlul hadits memberi solusi dengan metode al-jam'u alias menggabungkan riwayat-riwayat yang ada atau menelaah kemungkinan nasikh-mansukh hadis, serta melakukan perbandingan kualitas antar-riwayat.
Metode al-jam'u juga digunakan Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam menyikapi hadis-hadis tentang wabah dan penyakit menular. Dia menjelaskan, pendapat yang sahih, diikuti lebih banyak ulama adalah tidak ada nasakh dalam riwayat hadis ini, melainkan keduanya mesti dipahami bersama sebagai perintah menjauhi penderita adalah cara yang dianjurkan dan langkah hati-hati, serta makan bersama, menunjukkan kebolehannya.
Terlebih lagi, dalam redaksi yang lain, Abu Hurairah berkata bahwa Nabi Bersabda, "Tidak ada 'adwa (penyakit menular), tidak ada shafar, dan tidak pula hammah. Lalu seorang Arab Badui berkata; 'Wahai Rasulullah, lalu bagaimana dengan unta yang ada di padang pasir, seakan-akan (bersih) bagaikan gerombolan kijang lalu datang padanya unta berkudis dan bercampur baur dengannya sehingga ia menularinya?' Maka Nabi saw bersabda; Lalu siapakah yang menulari yang pertama?” Setelah itu Abu Salamah mendengar Abu Hurairah mengatakan; Nabi saw bersabda: “Janganlah (unta) yang sakit dicampur-baurkan dengan yang sehat.”
Kata kunci penegasan bisa diambil dari kalimat terakhir, yakni "Siapakah yang menulari yang pertama?" Yang bisa diartikan bahwa kebaikan dan keburukan memang sesuai dengan kehendak Allah Swt, akan tetapi tidak mesti serta-merta terjadi dengan sendirinya tanpa perantara. Wallahu a'lam.
(SBH)