Habibah binti Sahl, Permintaan Cerai Pertama dari Pihak Istri dalam Islam

N Zaid - Pernikahan 16/09/2025
ilustrasi. Foto: Pixabay
ilustrasi. Foto: Pixabay

Oase.id - Habibah binti Sahl termasuk perempuan Anshar yang hidup di Madinah dan menyaksikan secara langsung keindahan akhlak Rasulullah ﷺ. Sebuah kisah dari sahabiyah tersebut diceritakan Shahih Bukhari, di Kitab al-Thalaq, Shahih Muslim, Kitab al-Thalaq dan Ibnu Hajar al-Asqalani, dalam Fathul Bari. 

Kisah Habibah binti Sahl mencakup urusan rumah tangga, di mana ialah seorang perempuan pertama yang mengajukan khulu (permohonan cerai dari pihak istri), pertama dalam Islam

Latar belakang Habibah

Habibah binti Sahl berasal dari keluarga terpandang Bani Khazraj. Ia dinikahkan dengan Tsaabit bin Qais bin Syammas, seorang sahabat Nabi yang dikenal pemberani dan fasih berbicara. Pada awalnya rumah tangga mereka berjalan baik, namun seiring waktu Habibah merasa tidak lagi mampu hidup bersama Tsaabit. Bukan karena akhlaknya yang buruk, melainkan karena ketidakcocokan hati yang mendalam.

Dalam sebuah riwayat sahih (HR. Bukhari dan Muslim), Habibah berkata kepada Rasulullah ﷺ:

“Wahai Rasulullah, aku tidak mencela agama dan akhlak Tsaabit, tetapi aku khawatir terjerumus dalam kekufuran (karena tidak mampu menunaikan hak suami).”

Ungkapan ini menunjukkan kedalaman iman Habibah. Ia tidak menuduh suaminya, melainkan jujur bahwa perasaannya membuatnya sulit menjalankan kewajiban sebagai istri.

Rasulullah Menjadi Penengah

Rasulullah ﷺ mendengar pengaduan Habibah dengan penuh perhatian. Beliau menanyakan kesiapan Habibah untuk mengembalikan mahar yang pernah diterima sebagai syarat khulu’—yaitu perceraian yang diminta pihak istri. Habibah pun menyatakan kesanggupan. Akhirnya, Rasulullah ﷺ memerintahkan Tsaabit untuk menerima pengembalian mahar dan menceraikannya.

Peristiwa ini tercatat sebagai salah satu contoh khulu’ pertama dalam Islam. Ia menegaskan bahwa syariat memberi hak kepada perempuan untuk meminta cerai bila merasa tidak sanggup melanjutkan rumah tangga, selama dilakukan dengan adab dan alasan yang jelas.

Kisah Habibah binti Sahl mengingatkan kita bahwa pernikahan adalah amanah yang harus dijaga dengan cinta dan rasa tanggung jawab. Namun, ketika perbedaan tak dapat disatukan, Islam tetap memberikan solusi yang penuh rahmat.


(ACF)
TAGs:
Posted by Achmad Firdaus