Ketika Maksiat Menghilangkan Rasa Malu

N Zaid - Inspirasi 14/01/2024
Ilustrasi. Pixabay
Ilustrasi. Pixabay

Oase.id - Di antara dampak maksiat adalah menghilangkan malu yang merupakan sumber kehidupan hati dan inti dari segala kebaikan. Hilangnya rasa malu berarti hilangnya seluruh kebaikan.

Dalam kitab ash-Shahih, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Rasa malu adalah kebaikan seluruhnya."

"Termasuk yang pertama diketahui oleh manusia dari ucapan kenabian adalah jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu."

Dikutip dari Ad-Daa' wa Ad-Dawaa'dari Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, disebutkan bahwa hadits ini mengandung dua penafsiran:

Pertama: Hadits di atas berfungsi untuk menakut-naukuti dan sebagai ancaman. Maknanya, orang yang tidak memiliki rasa malu akan melakukan berbagai perbuatan buruk semaunya. Sebab, faktor pendorong untuk meninggalkan perbuatan buruk adalah rasa malu. Jika tidak ada rasa malu yang mencegah orang tadi dari perbuataa buruk, maka ia akan melakukannya. Ini adalah penafsiran Abu Ubaid (dalam kitabnya Gharibul Hadits).

Kedua: Jika engkau tidak malu terhadap Allah berbuat sesuatu, maka lakukanlah. Sebab, yang seharusnya ditinggalkan ialah perbuatan yang pelakunya malu kepada-Nya untuk melakukannya. Inilah penafsiran Imam Ahmad dalam salah satu riyawat Ibnu Hani.

Tafsiran pertama, untuk menakut-nakuti dan sebagai ancaman, sesuai dengan firman Allah:

"...Lakukanlah apa yang kamu kehendaki.." (QS Fuhsilat: 40)

sedangkan tafsiran kedua adalah izin dan pembolehan.
Apabila ada yang bertanya:"Apakah hadits di atas bisa diartikan dengan dua penafsiran sekaligus?"

Ibnu Qayyim mengatakan, "Tidak sekalipun terdapat pendapat orang yang membawa kata musytarak (kata yang mimiliki lebih dari satu makna) kepada seluruh makna-maknanya. Sebab, terdapat kontroversi antara ancaman dan pembolehan namun menjadikan seolah satu tasfiran di atas sebagai patokan juga akan mengakibatkan tafsiran yang lain menjadi patokan.

Maksudnya, dosa-dosa melemahkan rasa malu seorang hamba, bahkan bisa jadi menghilangkannya secara keseluruhan. Akibatnya, pelakunya tidak lagi terpengaruh atau merasa risih saat banyak orang mengetahui kondisi dan perilakunya yang buruk. 

Lebih parah lagi banyak di antara mereka yang menceritakan keburukannya. Semua ini disebabkan hilangnya rasa malu. Jika seorang sudah sampai pada kondisi tersebut, maka tidak dapat diharapkan lagi kebaikannya. 

Jika iblis melihat rona wajahnya ia malu, dan berkata" Aku menebus orang yang tidak beruntung."

Al Haya (malu) adalah turunan llafazh dari al- hayat (kehidupan). Hujan dinamakan haya karena ia merupakan sumber kehidupan bagi bumi, tanaman, dan hewan ternak. Kehidupan dunia dan akhirat juga dinamakan al-haya. Oleh sebab itu, siapa yang tidak memiliki rasa malu ibarat mayat di dunia ini dan sungguh, di akan celaka di akhirat.

Antara dosa dengan sedikitnya rasa malu dan tidak adanya cemburu memiliki kaitan yang sangat erat. Salah satunya akan memunculkan yang lain. Siapa yang malu terhadap Allah saat mendurhakai-Nya, niscaya Allah malu menghukumnya pada hari pertemuan dengan-Nya. Demikian pula, siapa yang tidak malu mendurhakai-Nya, niscaya Dia tidak akan malu untuk menghukumnya."


(ACF)
TAGs:
Posted by Achmad Firdaus