Bagaimana Perempuan Saudi Mendefinisikan Ulang Budaya Hadiah Pascahaji

Oase.id - Di Arab Saudi, berakhirnya haji tidak sekadar menandai berakhirnya ziarah suci — tetapi juga membuka pintu bagi tradisi berharga lainnya.
Pemberian hadiah, yang dikenal secara lokal sebagai hadiyat al-hajj atau "hadiah peziarah," adalah sebuah tindakan yang mengubah perjalanan pribadi menjadi berkah bersama. Bagi banyak orang, ini adalah ungkapan keimanan, rasa syukur, dan cinta.
Meskipun hal-hal klasik seperti air Zamzam dan kurma masih menjadi hal yang penting, generasi baru perempuan Saudi mendefinisikan ulang tradisi ini, menanamkannya dengan semangat kreatif, kisah pribadi, dan detail yang disengaja. Dari kemasan khusus hingga barang-barang simbolis dan catatan tulisan tangan, hadiah haji saat ini menjadi lebih dari sekadar kenang-kenangan — hadiah tersebut merupakan kelanjutan dari perjalanan spiritual itu sendiri.
“Saya tidak ingin sekadar memberikan sebotol plastik kepada seseorang dan berkata, ‘Saya pergi’,” kata Nawal Al-Subaie, berusia 30 tahun. “Jadi, saya menyiapkan bungkusan kecil berisi air Zamzam, tasbih berukir, dan kartu doa tulisan tangan untuk setiap teman. Itulah cara saya memberi tahu mereka tentang pengalaman ini.”
Hadiah-hadiah tersebut kini sering kali mengandung makna simbolis — wewangian yang membangkitkan suasana Arafah, kartu doa yang menggambarkan saat-saat hening di Muzdalifah, atau label sederhana bertuliskan “Haji Mabroor” dalam kaligrafi yang digambar tangan. Barang-barang tersebut dipilih dengan cermat, sering kali mewakili momen-momen yang membentuk hati peziarah.
Bagi Dana Al-Hamdan, 26 tahun, cara paling ampuh untuk melestarikan nuansa haji adalah melalui gambar. Alih-alih memberikan hadiah tradisional, ia mencetak foto-foto film instan yang diambilnya selama haji, yang diberi label dengan tanggal dan waktu yang tepat.
“Saya memberikannya kepada saudara kembar saya,” katanya. “Yang satu dari Arafah sebelum Maghrib, yang satu lagi dari saat saya tiba di Mina. Itu tidak dibuat-buat — itu mentah dan personal.”
Beban emosional dari gestur itu bertahan jauh melampaui pertukaran itu.
“Dia menyimpan satu foto di dompetnya dan yang lainnya di mejanya.” Kata Al-Hamdan.
Pendapat baru tentang hadiyat al-hajj ini menjadi tren di platform media sosial seperti Instagram dan TikTok. Video-video menunjukkan semuanya, mulai dari kotak hadiah bertema haji dan pembatas buku Al-Qur'an yang dipotong laser hingga kantong buatan tangan, minyak wangi, dan kenang-kenangan.
Namun, ini bukan tentang kemewahan atau penampilan; ini tentang perhatian. Banyak wanita menyiapkan hadiah dalam suasana yang tenang dan penuh perenungan. Beberapa menambahkan doa atau ayat. Yang lain menyiapkan barang-barang berdasarkan makna pribadi, seperti doa untuk kesembuhan, ayat untuk kesabaran, atau benda yang melambangkan kekuatan.
Latifa Al-Dossari, 27 tahun, membuat set tasbih dan menaruhnya di dalam tas beludru kecil, beserta catatan yang menggambarkan seperti apa rasanya hari haji itu.
"Rasanya seperti menulis surat kepada seseorang dari Mina," katanya.
Apa yang terjadi dengan hadiah-hadiah ini merupakan bagian dari gerakan yang lebih besar, pergeseran ke arah bentuk spiritualitas yang lebih ekspresif dan jujur secara emosional. Bagi banyak perempuan Saudi, terutama yang lebih muda, haji bukan hanya sekadar ritual untuk dipenuhi, tetapi juga kenangan untuk dibagikan, kesaksian yang mengundang orang lain untuk turut serta.
Sebagian orang melihat hadiyat al-hajj sebagai kenang-kenangan, sebagian lainnya melihatnya sebagai pernyataan diam-diam. "Aku mengingatmu," kata mereka. "Aku membawa namamu. Ini bukan perjalanan yang kutempuh sendirian."
Keindahan sejati dari tradisi ini terletak pada energi tak terucap yang melingkupinya. Ini bukanlah kenang-kenangan yang diproduksi secara massal; ini adalah hadiah yang menyimpan waktu, niat, dan doa.
Bagi para perempuan yang membuatnya, tindakan tersebut merupakan ritual terakhir, jembatan yang tenang dari perjalanan haji kembali ke kehidupan sehari-hari, tetapi dibangun dengan doa, pikiran, dan cinta, bukan batu atau kitab suci.
Karena, pada akhirnya, hadiah yang sesungguhnya bukanlah Zamzam atau foto atau manik-manik. Melainkan ketulusan yang menyertainya — jenis yang mengatakan: "Kamu bersamaku, bahkan saat aku pergi."
(ACF)