Begini Islam Memandang Panic Buying dan Penimbunan Barang

Oase.id- Masyarakat Indonesia tiba-tiba dihebohkan fenomena panic buying. Gerai dan retail diserbu banyak pembeli usai Presiden Joko Widodo mengumumkan virus korona telah masuk Indonesia.
Rata-rata pembeli memborong obat-obatan, alat kesehatan, dan bahan makanan pokok untuk disimpan dalam waktu yang lama.
Lantas, bagaimana Islam memandang panic buying dan penimbunan barang?
Panic buying berdampak sistemik
Pada dasarnya, hukum asal berbelanja dalam jumlah banyak adalah mubah alias boleh. Akan tetapi dalam kondisi tertentu, belanja borongan sebaiknya dihindari. Misalnya ketika ketersediaan barang dan pangan terbatas.
Begitu pula dengan panic buying, fenomena belanja dalam jumlah besar karena takut ini sebenarnya bisa merugikan. Sebab, perputaran stok barang menjadi tidak stabil dan penyebarannya tidak merata. Orang lain yang membutuhkan akan kesulitan menemukan barang yang dicari karena barang tersebut sudah diborong oleh sebagian yang lain.
Sebetulnya, Pemerintah Indonesia telah menyatakan bahwa stok pangan aman, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir dan cemas.
Panic buying justru dikhawatirkan bisa menyebabkan harga pangan melonjak terlebih ketika kondisi tersebut diperkeruh oknum yang memonopoli harga.
Selain itu, perlu diingat pula bahwa Rasulullah Muhammad Saw adalah pribadi sederhana. Nabi tak pernah menyimpan sesuatu untuk dirinya sendiri hingga esok hari.
Anas bin Malik meriwayatkan;
"Sesungguhnya Nabi Saw tidak pernah menyimpan sesuatu untuk esok hari (HR. Ibnu Hibban)
Meskipun demikian, dalam hadis lainnya disebutkan bahwa Rasulullah juga pernah menyimpan stok makanan untuk keluarganya selama setahun.
Dari Umar, ia berkata:
"Sesungguhnya Nabi Saw menjual pohon kurma Bani Nadlir dan menyimpan makanan untuk persediaan selama setahun bagi keluarganya." (HR Bukhari)
Dalam Insan Kamil, Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al-Makki menyebutkan, Nabi memang tidak pernah menyimpan makanan untuk dirinya sendiri. Sementara hadis yang diriwayatkan Umar di atas lebih menunjukkan bahwa Nabi menyimpan makanan sebagai bagian dari tanggung jawab nafkah kepada keluarganya. Itu pun, dilakukan Nabi saat kondisi pangan di daerahnya melimpah dan stabil.
Ada syarat yang membolehkan seseorang menyetok barang atau makanan dalam jumlah banyak. Dalam Fathul Mun’im bi Syarhi Shahih Muslim, kebanyakan ulama menyatakan kebolehan menyimpan bahan makanan untuk diri sendiri maupun untuk orang lain asalkan dalam kondisi banyak dan lapang.
Akan tetapi, jika dalam keadaan sulit dan darurat, menyetok barang dan bahan makanan dalam jumlah banyak tidak diperbolehkan.
Baca: Ini Peringatan Khalifah Umar saat Memergoki Penimbun Makanan
Hukum ihtikar
Penimbunan barang di dalam Islam dikenal dengan sebutan ihtikar. Hukum pelarangannya berdasarkan hadis-hadis berikut;
Pertama, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Bakar bin Abi Syaibah;
“Tidak menimbun kecuali orang yang berdosa."
Kedua, hadis dari Nashr bin Ali Al-Jahdlam;
“Orang-orang yang menawarkan barang dan menjualnya dengan harga murah (jalib) diberi rezeki, sedangkan orang yang menimbun dilaknat.
Ketiga, hadis dari Yahya bin Hakim;
Begitu pula dengan kondisi saat ini, kemunculan isu menyebarnya virus korona di Indonesia membuat masyarakat berbondong-bondong memborong barang dan bahan makanan. Seketika stok beberapa barang seperti masker, hand sanitizer, tisu, beras dan lainnya di gerai dan pusat perbelanjaan kosong. Padahal, distributor juga membutuhkan waktu untuk kembali menyetok barang.
Upaya antisipasi dan berhati-hati memang dibolehkan, namun sebaiknya tidak berlebihan. Berbelanjalah secukupnya sesuai hajat, sebab saudara-saudara kita yang lain pun membutuhkan.
Rasa takut dan cemas adalah tipu daya setan, ia senantiasa bertanya pada manusia “Apa yang kau makan besok?” “Apa yang kau kenakan esok hari?” sehingga muncul lah rasa was-was dan khawatir di hati manusia.
Dalam Nashaihul ‘Ibad disebutkan bahwa Hatim Al-Asham berkata, “Setiap pagi setan bertanya kepadaku tentang tiga hal; ‘Apa yang engkau makan? Apa yang engkau pakai? Di mana tempat tinggalmu?’
Namun tokoh yang pernah berpura-pura tuli demi menjaga perasaan orang lain ini tak terpedaya, ia malah menjawab, “Aku sedang memakan (membayangkan) pahitnya mati, yang aku pakai adalah kain kafan dan tempat tinggalku adalah kuburan.”
(SBH)