Makin Ramai Jasa Nikah Siri di Medsos, Ini Kata Kemenag

N Zaid - Pernikahan 23/11/2025
Ilustrasi pernikahan siri. Foto: Pixabay
Ilustrasi pernikahan siri. Foto: Pixabay

Oase.id - Promosi layanan nikah siri yang belakangan marak di media sosial mulai menimbulkan kekhawatiran di lingkungan Kementerian Agama. Fenomena ini dinilai bukan sekadar tren digital, tetapi isu serius yang dapat berdampak langsung pada perlindungan perempuan, anak, dan keluarga.

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama melalui Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah, Ahmad Zayadi, menekankan bahwa jual-beli layanan nikah siri secara daring membuka banyak persoalan, baik dari sisi keagamaan maupun hukum. Ia mengingatkan bahwa pernikahan tidak hanya sah secara agama, tetapi juga wajib dicatat oleh negara agar memiliki kekuatan hukum.

Kerangka hukum mengenai hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Pencatatan perkawinan, kata Zayadi, adalah instrumen penting untuk menjamin hak-hak dalam keluarga. “Pencatatan perkawinan bukan sekadar urusan administrasi, tetapi bagian dari perlindungan hukum bagi semua pihak,” ujarnya.

Tanpa pencatatan negara, pasangan tidak akan mendapatkan buku nikah yang menjadi dasar penegakan berbagai hak, mulai dari nafkah, warisan, hingga status anak. Zayadi menegaskan bahwa perkawinan yang dilakukan secara siri tidak memungkinkan adanya dokumen resmi tersebut, sehingga berbagai konsekuensi hukum keluarga tidak dapat diproses.

Ia juga mengingatkan bahwa aturan turunannya—seperti PP Nomor 9 Tahun 1975 dan PMA Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan—mengharuskan setiap akad nikah berada di bawah pengawasan penghulu atau Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Pengawasan ini meliputi verifikasi identitas calon pengantin, status perkawinan, batas usia, keabsahan wali, serta terpenuhinya dua saksi yang memenuhi syarat.

“Tanpa mekanisme itu, keabsahan sebuah perkawinan sulit dipertanggungjawabkan baik secara hukum negara maupun syariat,” katanya.

Lebih jauh, Zayadi menilai praktik jasa nikah siri berbayar yang banyak ditawarkan melalui platform digital biasanya tidak memenuhi standar yang ditetapkan Ditjen Bimas Islam. Tidak adanya verifikasi wali, ketidakjelasan saksi, hingga absennya penghulu menyebabkan praktik ini rawan memicu konflik rumah tangga, penelantaran perempuan dan anak, poligami tidak terkontrol, serta berbagai bentuk penyalahgunaan.

“Ini bukan sekadar persoalan administratif, tetapi juga berkaitan dengan risiko kemanusiaan,” tegasnya.

Zayadi menambahkan bahwa negara memiliki tanggung jawab memastikan setiap perkawinan berjalan sesuai ketentuan syariat sekaligus memberikan perlindungan hukum yang memadai. Karena itu, praktik nikah siri digital berbasis transaksi dianggap bertentangan dengan prinsip mitsaqan ghalizha dan tidak sejalan dengan hukum positif.

Menutup keterangannya, Zayadi mengajak masyarakat untuk melaksanakan perkawinan secara resmi melalui Kantor Urusan Agama (KUA). “Pernikahan yang dicatatkan negara memberikan kepastian hukum, melindungi hak istri dan anak, serta memastikan seluruh tata syariat terpenuhi. Kami imbau masyarakat tidak menggunakan jasa nikah tidak resmi yang dipromosikan di media sosial,” ujarnya.(kemenag)


(ACF)
TAGs:
Posted by Achmad Firdaus